Upacara merupakan suatu hal yang
sudah kita kenal dari dulu kala. Saat kita SD, SMP dan SMA tepatnya pasti
setiap hari senin kita tak lepas dari namanya upacara. Berdiri sekitar satu jam
untuk melihat menyaksikan sang saka merah putih naik tiang dan berkibar.
Kini kita telah
beranjak di masa perguruan tinggi, di Universitas Negeri Semarang tepatnya.
Dimana suasananya sangat beda dengan saat-sat masa sekolah dulu di SD, SMP
maupun di SMA. Salah satunya tidak ada yang namanya upacara tiap hari senin
bagi mahasiswa. Tetapi tetap ada upacara-upacara khusus pada hari-hari tertentu
untuk dilaksanakan. Seperti upacara 17 Agustus untuk memperingati hari
kemerdekaan, upacara 28 Oktober saat peringatan sumpah pemuda, dan 5 Mei untuk
memperingati hari pendidikan nasional dan beberapa yang lain. Upacara tersebut
tidak dikuti oleh seluruh mahasiswa se-Unnes, hanya dilakukan atau diwajibkan bagi
penerima beasiswa. Kenapa seperti itu, menurutku karena jika upacara itu diwajibkan
untuk semua mahasiswanya. Maka niscaya lapangan kampusku tidak akan muat
menampung peserta upacara. Bayangkan saja sekitar 25.000 lebih mahasiswa Unnes
melakuakn upacara bersama, tentu suasananya akan seperti kekacauan yang sangat crowded. Mungkin jika hal itu dilaksanakan
malahan bisa memecahkan rekor MURI sebagai upacara yang memiliki peserta
upacara terbanyak di Indonesia dalam satu kampus. Jika dilaksanakan seperti itu
mungkin pelaksanaanya akan dibagi menjadi beberapa tempat, di lapangan rektorat
seribu peserta, FIK berapa ribu mahasiswa, di lapangan FE seribu, dan
lapangan-lapangan lain di Unnes dibagi hingga bisa nampung semuanya. Dengan
system upacaranya adalah teleconference.
Seru juga jika ada upacara seperti itu dengan teleconference, nanti setiap pos upacara diberi satu komandan
upacara. Tetapi aku rasa itu tidak akan dilaksanakan, selain banyak tenaga yang
dibutuhkan pasti biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Biaya teleconference, biaya untuk merawat
peserta yang pingsan, biaya cetak presensi dan biaya kebersihan. Lho kok ada
biaya kebersihan juga? ya tentu ada. Hal itu dikarenakan biasanya juga banyak
peserta upacara yang suka membuang sampah sembarangan saat upacara, seperti
tisu untuk lap keringat, botol minuman untuk menghilangkan haus, bungkus permen
yang dimakan dengan alasan supaya tidak ngantuk, dan lain-lain. Itulah mungkin
alasan yang pertama, maka memang sewajarya yang diwajibkan untuk upacara itu
tidak semuanya.
Alasan yang kedua, penerima
beasiswa itu adalah orang-orang pilihan yang diseleksi secara ketat untuk bisa
menerima bantuan baik berupa uang atau tidak selama periode beasiswa yang telah
ditentukan. Setelah menjadi penerima beasiswa itu tentu mereka telah mendapat
uang, pembinaan dan lain-lain. Ya karena itu sudah sepantasnyalah untuk hanya
diwajibkan upacara sudah tidak mau. Padahal sudah diberikan anugerah berupa
bantuan untuk kuliah dengan nominal yang cukup banyak mereka tidak mau. Tapi
untuk alas an yang kedua ini ternyata sedikit banyak ada yang kurang setuju.
Kenapa sih harus penerima beasiswa ? kenapa sih ada upacara terus? kenapa sih?
kenapa sih?. Hal itulah pertanyaan yang selalu terdengar jika memang tidak ada
kesadaran dari diri sendiri. Sadar bahwa penerima beasiswa itu ya harus beri
umpan balik donk. Kurasa upacara juga bukan suatu yang merugikan secara umumnya.
Belum ada aku dengar ada kabar.
“Telah diikabarkan bahwa
mahasiswa bernama Joko telah sakit tujuh hari tujuh malam setelah mengikuti
upacara Hardiknas di lapangan FIK”
Atau ada berita seperti ini,
“Telah diberitakan bahwa
mahasiswa bernama Prasetyo IP-nya langsung jatuh dari yang semula 3,5 tetapi
setelah upacara hari sumpah pemuda IP-nya anjlok menjadi 2,5”.
Hehehe, kurasa yang seperti itu
sangat kemungkinan kecil terjadi. Yang sering terjadi itu adalah saat upacara
berlangsung itu pas tumbukan dengan kuliah, wah jika seperti ini pasti masih
banyak penerima beasiswa yang kebingungan.
“Gimana ni, upacara nggak ya?
atau aduh kuliah aja deh, dosennya Killer. Aduuuh tapi kalau nggak upacara
gimana ya? nanti beasiswaku dicabut gimana?”.
Seharusnya jika seperti itu terjadi,
janganlah sepanik itu deh. Hal itu
karena yang diwajibkan upacara itu juga dosen-dosenya juga. Jadi tidak perlu pusing-pusing
sekali memikirkan jika ada seperti itu. Tetapi susahnya jika ada dosen yang tidak
ikut upacara, tetapi tetap menngajar. Hal itu yang akan menjadikan penerima beasiswa
itu pusing tujuh keliling.
Lucunya pada saat upacara
berlangsung, masih ada saja mahasiswa yang nitip absen. Aduh ini anak apa tidak
malu pada dirinya sendiri ya, ini sama saja menipu dirinya sendiri dan tak tahu
malu. Kalau memang tidak mau datang ya jangan nitip absen. Main presensi saja
main palsu-palsuan, dititipkan temen lagi.
Hal itulah yang menjadi buruknya sistem yang diperbudak oleh presensi,
“Yang penting adalah presensi” itulah slogan yang sangat tragis. Jika seperti
itu terjadi terus menerus, lama kelamaan bangsa kita terkenal bangsa presensi
dong. Lucu sekali jika dimasa depan nanti kita menjadi bangsa presensi, saat kuliah
contohnya mahasiswa datang, lanjut terus presensi lalu langsung pulang. Saat
ditanya ya jawbnya “Yang penting ya presesnsi donk” serasa seolah tidak penting
masuk atau tidaknya. Jika seperti itu mungkin jika pas waktunya dia meninggal
dunia, ketika mau dikubur. Setelah dicatat oleh petugas pemakaman ketika
mayatnya siap dimasukan kedalam liang kubur, lalu mayatnya tidak jadi dimasukan,
langsung pergi saja pegawai makam itu. Sampai-sampai mayatnya itu bingung, dan
bangkit hidup lagi dan bertanya.
“Maaf pak maaf pak, saya kok
langsung ditinggal begitu saja. Saya mau masuk liang kubur ini. Sudah capek
pengen berbaring di dalam”.
Dengan tenang pak petugas
menjawab, “Ah nggak papa pak nggak masuk. Masuk atau nggak itu nggak penting,
yang penting dibuku catatan pemakaman ini bapak sudah saya presensikan”.
Hahaha, semoga hal seperti itu nggak terjadi.
Sebagai penerima beasiswa, sudah
sepantasnya kita harus sadar dengan sepenuh hati. Bahwa kita disini sudah
merupakan anugerah yang luar biasa bisa duduk mendapat beasiswa untuk kuliah.
Mungkin jika kita bisa bayangkan, betapa banyak pemuda diluar sana yang
membanting tulang hanya demi sesuap nasi hingga mereka tak berfikir untuk
kuliah. Atau mereka yang disana bekerja keras penuh keringat, mengamen dijalan,
jualan koran di jalan-jalan yang mereka bekerja karena tak punya banyak uang
hanya untuk bisa belajar seperti kita. Terus apa yang kita perbuat? apakah kita
yang hanya diminta untuk upacara saja sudah tidak mau. Padahal uang yang kita
terima dari beasiswa kita itu sama-sama uang dari rakyat. Jika kita seperti itu
saja disuruh upacara tidak mau mungkin lebih baik uang yang kita terima itu lebih
pas diberikan kepada orang-orang yang tak mampu diluar sana untuk bisa makan
daripada diberikan untuk kita.
Bukan beasiswa itu kegiatan
utamanya adalah upacara, tapi upacara itu menurutku adalah sebuah hal kecil
yang tak buruk jika kita laksanakan sebagai penerima beasiswa. Jika hal kecil
itu bisa kita lakukan dengan penuh kesadaran. Maka hal-hal besar kewajiban kita
sebagai penerima beasiswa akan coba kita wujudkan sebagai rasa terima kasih
kita kepada negara ini. Kewajiban membangun bangsa, kewajiban melakukan
perubahan perbaikan Indonesia dan kewajiban-kewajiban yang lain lagi yang bisa
kita lakukan. Itulah tugas mulia kita, mari kita laksanakan hal-hal yang kecil
seperti upacara itu kita laksanakan dengan ikhlas. Jika hal kecil itu sulit
kita laksanakan dengan ikhlas, apalagi hal-hal besar yang wajib kita lakukan.
Niscaya lebih sulit lagi.
UNTAIAN
HIKMAH
Pertama, hidup ini bukan
seberapa besar kita meminta dan mau menerima pemberian orang lain. Tetapi lebih
baik diartikan sebagai seberapa besar kita mau mensyukuri sekecil apapun yang
telah kita peroleh. Sesedikit apapun yang kita terima, tentu kita harus bisa
berterima kasih karenanya. Sekecil apapun yang bisa kita lakukan, tentu
merupakan bentuk penghargaan kita dari pemberian itu.
Kedua, seringkali kita
terlalu meremehkan kewajiban-kewajiban kecil. Menganggapny bahwa itu tak
terlalu berarti jika tak dilakukan. Padahal semua hal besar berawal dari suatu
yang kecil. Selayaknya kita bisa memaknai bahwa hal-hal kecil itulah yang kan
menjadikan suatu yang besar.
Ketiga, Kita memang
mempunyai hidup yang berbeda satu sama lain. Kita tak bisa selalu membandingkan
diri kita dengan orang lain, begitu pun dengan kewajiban dan hal yang harus
kita lakukan seseuai kondisi dan porsi kita masing-masing.
Keempat, jika kita
terlalu memikirkan sisi tidak enak dari suatu hal. Maka kita justru enggan
sekali melakukannya. Sebaliknya, jika kita bisa memikirkan segi positif dari
suatu hal. Niscaya ada semangat untuk melakukan hal tersebut.
0 Response to "UPACARA, KEWAJIBAN ATAU KESADARAN ??? - Catatan Sang Bidikmisi ke -14"
Post a Comment