Pelajaran Dari Pak Tua Penjual Tape
Siang itu
hari minggu kucari makan disekitar alun-alun kota Salatiga yang biasa disebut
dengan lapangan pancasila. Pengalaman disini selama PPL di Salatiga kalau cari
makan suka muter-muter, cari yang murah alasannya. Ya tapi ternyata harganya
tetap sama saja, mahalnya makanan dikota tetap terasa lebih mahal dibanding
hidup didesa-desa. Tapi bukan itu yang ingin kuceritakan tentang mahal atau
tidaknya hidup dikota. Tapi setelah makan selesai aku berjalan menuju parkiran
motor temenku. Kulihat ada bapak-bapak yang sudah tua renta memikul dua buah
keranjang bambu. Ini penjual apa fikirku, belum lama aku perhatikan bapak tua
itu beliau menyadarkan diamku dalam mengamatinya. “Tape nak” tawar beliau,
seketika aku menghampirinya. Beliaupun tersenyum dengan memilih berhenti dari
berjalan tapi meilih tempat yang lebih teduh, maklum siang itu sinar matahari
terasa terik sekali. “Berapa pak harga tapenya” tanyaku, pak tua itu menjawab
“lima ribu saja nak”. Seketika aku pun mengiyakan tanpa merasa sedikitpun
merasa sungkan. Padahal tadi saat makan aku sangat ngirit-ngirit sekali untuk
mengeluarkan uang. Tapi untuk bapak tua ini kurasa uang segitu tak berarti
seberapa dengan perjuangannya memikul dua keranjang dengan berjalan kaki ditengah
hiruk pikuk kota yang penuh mobil dan kendaraan bermotor. Fikirku betapa
kerasnya perjuangan yang pak tua itu lakukan demi mencari sesuap nasi untuk
kehidupannya.
Seusai
membeli tape seharga lima ribu itu aku jadi banyak berfikir tentang pak tua itu.
Pertama, ternyata hidup itu harus
bekerja keras. Melihat pak tua itu semangat menggendong daganganya, aku jadi
merasa kalah sekali dengan semangatnya serasa tanpa mengenal capek dan tanpa
mengenal malu. Sedangkan coba lihat kita, jangankan menggendong dua keranjang
itu berkeliling kota, mungkin Cuma menggendongnya beberapa ratus meter saja
sudah kecapekan. Kedua, usaha dalam
rizki maupun hidup itu
tak boleh mengenal rasa malu. Dari pak tua itu yang
usianya mungkin sudah dekat dengan saat-saat kembali ke Penciptanya, masih
dengan tegarnya berkeliling dengan tape manisnya dipenjuru kota. Dilain pihak
tentu banyak kakek-kakek yang sudah berpangku tangan duduk manis. Tapi kakek
tua penjual tape ini dia berjalan kaki dengan pakaian sederhananya berjalan
menawarkan dagangan tapenya yang sudah dibilang orang-orang sebagai makanan
zaman dahulu. Sekarang coba lihat kita para pemuda, kita itu masih sering kali
dikit-dikit gengsi dan banyak merasa malu jika tak memiliki sesuatu yang
dimiliki orang lain. Sudah jarang sekali para pemuda contohnya yang enggan
berjalan kaki untuk sekolah maupun kuliah, mereka merengek-rengek manja meimnta
orang tuanya membelikan sepeda motor untuknya. Ya kalau orang tuanya kaya,
kalau tidak terpaksa orang tuanya bersusah payah membelikan anak-anak manja itu
dengan keringat yang bercucuran demi anaknya. Atau terpaksa memberikan
satu-satunya sepeda motor yang dimiliki dirumah demi anaknya untuk bisa dipakai
sekolah atau kuliah. Sementara dirumah orang tua mereka yang berjalan kaki atau
duduk menunggu sampai anak-anaknya pulang. Itu baru sepeda motor, belum lagi
fasilitas lain yang banyak diminta anak-anak manja itu. Handphone, laptop,
perhiasan, baju-baju dan lain sebagainya yang mereka minta hanya demi kepuasan
untuk menghindari rasa malu dan gengsi. Lanjut yang ketiga, Jadilah anak yang bisa membahagiakan orang tua. Setelah
kumelihat pap tua itu dengan umur senjanya masih memikul beban seberat itu aku
jadi berfikir dimana anak-anaknya, dimana cucu-cucunya dan dimana keluarganya
?. kenapa membiarkan kakek setua itu masih berkeringat demi berdagangan tape.
Mungkin pertanyaan itu juga berlaku bagi kita, akankah kita nanti atau sekarang
sudah bisa bahagaiakan orang tua kita. Atau justru kita yang masih
dibahagaiakan dan bergantung pada mereka. Ya kalau orang tua itu orang kaya,
tentu gak begitu memberatkan. Tapi jika orang tua kita hanya seorang yang tak
begitu kaya, yang perlu membanting tulang berkeringat deras demi kita. Kita
perlu ingat usia orang tua kita semakin bertambah hari demi hari dan itu
berbanding juga dengan kondisi fisik mereka yang semakin menurun. Kita lah yang
sekarang harus mulai memikirkan mereka, supaya setelah mereka sudah lelah dalam
bekerja tak terpaksakan mereka untuk tetap bekerja. Maka kita harus jadi orang
yang sukses. Ya kalau masih sekolah kuliah tentu ya jangan bermalas-malasan
dalam sekolah dan belajarnya. Memang sih rejeki itu ada yang atur, tapi usaha
kitalah sebagai cara untuk mendapatkan rejeki itu. Terus bagi kita yang punya
orang tua kaya, kaya itu gak bisa kejamin akan bertahan lama. Banyak sekali
hal-hal yang bisa melenyapkan kekayaan orang tua kita seketika. Jadi jangan
pernaha merasa terlalu nyaman dari gelimpangan materi untuk buat kita tertidur
nyenyak dalam empuknya harta. Keempat, Kurasa
bangsa ini butuh orang-orang yang peduli terutama pemimpin yang peduli. Sering
kali kuberfikir kapankah bangsa ini benar-benar menjadi makmur secara merata,
gak terjadi kesenjangan yang nyata antara sikaya dan simiskin, antara petani
dan pejabat dan lain-lain. Tak ingin kulihat, disatu tempat yang sama seorang
berdiri dengan gagahnya memakai jas mahal dengan begandeng istrinya dengan
berbagai perhiasan mahal lengkap dengan gadget termodern berjalan dengan tegap
dan acuh dari mobil mewahnya sedangkan didepan mobilnya duduk seorang penjual
tape yang sudah tua renta yang sudah keriput dengan senyum sederhananya
berharap ada pembeli menghampirinya. Tapi inilah negeriku, negeri dimana
dikatakan didengungkan gemah repah loh jinawe. Aaah itu hanya semboyan bagi
orang-orang yang duduk manis mengurasnya. Sementara rakyat kecil hanya bisa
memikul beban sebagai kuli dinegeri sendiri. Sungguh ironis negeri yang punya
harta karun yang sangat banyak dialam, penduduk asing datang menyuruh membuka
untuk mengambil harta karunnya sedangkan penduduk asli negerinya sebagai kuli
pembuka harta karun ituitu penduduk asing.
0 Response to "Pelajaran Dari Pak Tua Penjual Tape"
Post a Comment