Kerja moyak itu sungguh sangat berat. Apalagi bagi seorang anak kecil sepertiku. Setiap hari dari pagi hari mulai dari matahari terbit saat itu pula aku mulai berangkat bekerja. Memanggul sekop yang kuletakan di bahuku sembari membawa sebotol dirigen air minum dalam genggaman lenganku yang satunya. Hingga kala matahari tepat berada di atas aku berdiri saat itulah aku istirahat. Sejenak melepas lelah sambil makan siang. Selanjutnya kala matahari mulai tenggelam saat itulah aku pulang dari kerja.
Setiap hari bekerja, tidak ada yang namanya libur rutin atau libur terjadwal. Hanya sesekali meliburkan diri itu saja karena badan sudah merasa sangat lelah atau didera sakit. Saat itu baru benar-benar bisa istirahat. Istirahat di tenda pun rasanya tidak enak dan tidak nyaman. Di dalam tenda seperti orang yang dipanggang di dalam sebuah wadah. Rasanya sangat panas bukannya teduh. Panasnya melebihi udara yang ada diluar tenda. Hingga kalau istirahat lebih memilih di luar tenda, mencari tempat yang mempunyai bayangan matahari seperti di bawah pepohonan.
Sehari-hari disana benar-benar terisolasi dari dunia luar. Tidak ada saluran listrik sampai ke tendaku berada. Setiap malam hanya lampu teplok atau kami biasa disana menyebutnya dengan Dilah. Dilah adalah sebutan familiar bagi orang Jawa di desaku untuk benda itu. Benda yang menjadi sumber cahaya yang terbuat dari botol minuman yang diisi dengan minyak tanah yang diberi sumbu kain bekas sampai atasnya, hingga menyala kala disulut api. Bentuknya mungkin mirip seperti
bom molotov yang sering aku lihat di tv-tv yang digunakan para pendemo kala berdemonstrasi melawan pemerintah yang mereka anggap salah. Nyala api dari Dilah itu yang berwarna kuning seperti lilin menjadi teman setiap malam. Dengan Dilah itu malam-malam yang kulalui tersinari oleh sinar redupnya di tengah gelap dan sepinya hutan yang telah menjadi area pertambangan.
Daerah yang kutempati begitu sangat terpelosok. Sinyal telepon sangat sulit sekali, walau aku saat itu tidak punya telepon. Hanya meminjam dari tetangga tenda kala ingin menelpon keluarga dirumah. Kami mendirikan tiang kayu yang tinggi untuk memasang antena telefon supaya bisa mendapatkan sinyal. Hasilnya juga percuma, tetap saja sangat sulit mendapatkan sinyal. Akhirnya supaya kami bisa menelfon kami harus naik turun perbukitan pasir disana berusaha mencari tempat yang lebih tinggi berharap mendapatkan sinyal. Hasilnya juga masih tetap saja sama, sulit sekali untuk mendapatkan sinyal. Kalau dapat sinyal baru beberapa kata saja terucap, suara "tut tut tut” yang menandakan sinyal terputus, kejadian itu sering kali kami alami, sehingga sering kami harus pergi ketempat lain yang mempunyai banyak sinyal yaitu salah satu pusat keramaian yang ada disana, kami menyebut tempat itu KM. 28. Di tempat itu baru kami bisa menelfon dengan lancar, walau kami harus pergi berkilo-kilo meter untuk dapat sampai kesana.
Padang pasir mini, itulah yang bisa kugambarkan untuk tempatku moyak itu. Tempat sehari-hari aku bekerja di tengah terik matahari. Sebuah hamparan pasir yang tercipta karena menjadi area pertambangan yang padahal dulunya adalah wilayah berhutan lebat. Dengan adanya pertambangan itu menjadikan pepohonan yang ada mulai berkurang hari demi hari. Pepohonan lebat itu telah tumbang berganti tanah pasir yang tergali ke atas hingga menjadi hamparan pasir yang luas. Walau di arah lain, di samping area pertambangan masih bercokol pepohonan hutan serta semak belukar yang lebat yang menandakan belum banyak terjamah manusia. Pasir itu aslinya berada di bawah pepohonan itu, karena industri pertambangan emas baik secara modern ataupun tradisional yang dilakukan oleh warga membuat pepohonan itu lenyap dan pasirnya yang digali terangkat ke atas dan membentuk perbukitan-perbukitan kecil yang berasal dari tumpukan pasir.
Ada yang tergali maka ada pula bekas galiannya. Pasir yang terangkat telah menjadi bukit maka bekas galiannya menjadi lubang-lubang besar disana. Hingga yang terlihat adalah bukit-bukit pasir dan lubang-lubang besar yang seperti danau-danau kecil yang terbentang bercecer di berbagai penjuru. Pemandangan itu dihiasi beberapa pohon yang masih berdiri diantara bukit dan danau kecil itu, serta bertambah elok tetapi miris karena diantaranya nampak jajaran pepohonan besar yang telah tumbang yang mulai lapuk mengering. Air lubang-lubang yang seperti danau-danau kecil itu berwarna merah kecoklatan, itulah yang biasa menjadi tempat sehari-hariku mandi dulu dan juga pernah menjadi sumber air minumku. Air itu pula yang digunakan mesin pompa air yang kumiliki untuk menyokong pekerjaanku dalam mengambil air untuk berkerja. Sementara dari perbukitan pasir yang dulunya digali para penambang emas itulah tempatku meletakan parit papan saluran air buatan untuk mencari poyak berada. Bukit-bukit pasir itu nantinya juga akan kembali ke lubang-lubang danau kecil itu berada, seiring para pekerja poyak yang mengalirkan parit saluran airnya ke arah lubang itu. Para penambang emas itu yang menggali dan kami para pencari poyak yang mengembalikanya. Seolah bumi tempatku berpijak ini seiring waktu berlalu menjadi tempat manusia membolak-balikan apa yang ada di dalamnya, mencari sesuatu yang mereka anggap berharga. Ternyata begitulah cara Tuhan mengatur bumi supaya tetap berjalan seimbang.
Berbulan-bulan bekerja sebagi seorang pencari poyak membuatku sudah mulai terbiasa merasakan panasnya terik matahari. Panasnya sinar matahari sudah menjadi santapanku setiap hari. Panasnya sinar dari benda yang menjadi sumber tata surya itu selama berbulan-bulan ini telah menggantikan para guruku yang dulu kala bersekolah selalu menerangi diriku dengan berbagai ilmu pengetahuan. Panasnya sinar itu sudah membakar kulitku yang sudah sangat hitam terlihat di sekujur tubuhku kecuali bagian tubuhku yang selama bekerja tertutup kain pelindung. Hampir seluruh tubuhku sudah menghitam, wajahku sudah tak seperti yang kukenal dulu. Hitam pekat yang kurasa teman-temanku di rumah jika melihatku kala itu pasti tidak mengenaliku karena memang benar-benar telah berubah dan sangat kontras dengan warna kulitku yang dulu. Sementara itu rambutku juga sudah benar-benar panjang memerah karena terbakar panasnya matahari pula. Begitu panjang juga karena dari awal merantau dulu tak pernah sekalipun kucoba untuk memotongnya. Dari segi kondisi tubuh juga sudah terlihat berubah, otot-otot ditubuhku terasa mulai mengeras tumbuh beradaptasi dengan kerja keras yang selama berbulan-bulan telah kujalani.
Panas sekali, itulah yang mungkin bisa kukatakan tentang kondisi kala siang hari aku bekerja. Supaya bisa meredam panasnya terik matahari sering kali aku menceburkan diri ke danau-danau kecil tadi atau sekedar menyiram tubuhku dengan air merah kecoklatan itu. Namun tetap saja terik panas sinar matahari itu terasa panas dan membuat keringat di tubuh bercucuran dengan sangat deras. Di tengah terik panas itu aku harus tetap bekerja, menaruh pasir sesekop demi sesekop ke arah parit papan saluran air yang telah dibuat. Seperti begitu terus sepanjang hari. Kala benar-benar sangat terasa panas saat bekerja itu, bukannya kami berteduh mencari pepohonan yang rindang untuk bisa istirahat. Kami justru bukannya mendatangi pohon yang ada tetapi malah menebang pohon itu beserta daun-daunya yang cukup lebat dan membawanya kemana kami akan bekerja. Menancapkannya tepat di sebelah kami bekerja supaya bisa melindungi kami dari terik panas matahari. Tentu bukan pohon yang sangat besar sekali yang kami bisa bawa tetapi pohon yang sekiranya punya daun yang lebat tetapi berukuran kecil dan mudah dibawa. Biasanya tak satu pohon yang kami bawa tetapi beberapa pohon sekaligus supaya bisa lebih menghalangi sinar matahari menerpa kami. Jadilah terlihat beberapa pohon yang seolah selalu berpindah-pindah karena memang kami bawa dimanapun kami pindah bekerjanya.
Kala panas seperti itu angin adalah suatu yang sangat kuinginkan datang menerpala tubuhku, angin itu bisa sedikit meredam panasnya terik matahari walau hanya sebentar saja. Angin seolah berhembus mendinginkan rasa panas. Angin seolah menyapu hawa panas yang ditimbukan oleh sinar matahari. Beberapa bulan yang kulalui seperti itu, begitu panas membakar tubuh kecilku.
Panas dan terik, walau bagitu aku tak berharap supaya turun hujan. Walau hujan identik dengan hawa dingin dan sejuk. Disana hujan justru akan menghalangiku kerja. Hujan menjadikanku tidak bisa bekerja dengan baik. Pasir kalau terkena hujan tentunya akan larut dan mengalir ke arah air itu mengalir. Hujan juga akan menjadikan parit saluran air dari papan yang kubuat untuk menyaring poyak menjadi berantakan dan mudah roboh. Hingga saat hujan datang terpaksa kami harus berhenti dan menutupi parit saluran air buatan dari papan itu dengan tutup seadanya. Supaya poyak yang sudah terkumpul juga tidak berceceran terkena air hujan. Hujan disana juga tidak bisa diprediksi dengan mudah. Orang-orang menyebut hujan itu dengan hujan Sembrani. Hujan yang turun dengan begitu cepat dan berhenti dengan begitu cepat pula. Hujan itu berlangsung hanya selama beberapa menit kemudian terang lagi, kemudian hujan lagi. Begitu berkali-kali walau hujan itu sangat deras. Disana juga tidak selalu hujan Sembrani yang datang, hujan seperti biasa kurasakan seperti di Pulau Jawa juga terasa disana. Hujan yang sangat lama yang berlangsung berjam-jam. Malahan seringnya jika hujan seperti itu maka begitu deras sekali dan juga disertai dengan angin yang kencang. Maka dari segi pendirian tenda, setiap tenda yang ada didirikan menjauhi dari pohon-pohon besar yang masih berdiri. Hal itu supaya menghindari ambruknya pohon yang sewaktu-waktu bisa terjadi kapan saja. Hingga pendirian tenda ditempatkan di lokasi yang berada di tempat yang lapang dan terbuka.
Panas matahari membuat tubuhku cepat lelah, itu membuatku selalu sering minum. Setiap berangkat kerja selalu membawa satu dirigen kecil air minum. Di lain itu sering membeli minuman suplemen yang banyak diiklankan di televisi itu. Fikirku supaya bisa bertenaga dan lebih kuat dalam bekerja. Efek dari minuman seperti itu memang terasa buatku dan yang lain. Kadang kakakku juga menasehatiku bahwa terlalu banyak minum-minuman suplemen seperti itu juga tidak baik untuk kesehatan. Hal itu memang benar kalau difikir-fikir, sesuatu yang berlebihan itu tidak baik bagi manusia. Panas terik matahari memang begitu menyengat tubuh, tetapi keputusan untuk merantau itu adalah keputusanku. Apapun yang terjadi harus aku jalani dengan sebaiknya. Walau panas walau terik harus tetap bekerja keras disana. Resiko dari keputusanku, itulah tanggung jawabku sendiri. Tak boleh menyalahkan keluargaku, apalagi menyalahkan kakakku. Tak menyalahkan keadaan yang telah memaksaku pergi merantau. Aku harus kuat menjalani hidup yang aku pilih.
#Baca selengkapnya dalam novel "EMAK AKU INGIN KULIAH"
0 Response to "CHAPTER 7 - PANASNYA PASIR KALIMANTAN (NOVEL EMAK AKU INGIN KULIAH)"
Post a Comment