Sumber gambar : portalsemarang.com |
IP 3,0 - Catatan Sang Bidikmisi ke-7
Seorang mahasiswa bidikmisi tak akan pernah terlepas dari sebuah frase yang terdiri dari dua kata. Dua kata yang selalu menyertainya di akhir semester. Dua kata yang sangat menentukan nasibnya dalam mempertahankan beasiswa bidikmisi. Dua kata itu adalah indeks prestasi atau biasa aku sebut itu dengan IP. Sebagai seorang mahasiswa bidikmisi aku tak akan mampu mengelak dari ketentuan surat kontrak bidikmisi yang mengharuskan diriku untuk mendapatkan IP diatas 3,0. Sungguh begitu berat juga awalnya itu aku rasa. Apakah aku sanggup atau tidak, namun bukan keluhan yang harus aku lakukan. Aku harus berusaha, mungkin itulah yang justru paling penting untuk aku lakukan.
Waktu terus berjalan, kuliah di semester satu bergulir
dengan begitu cepat. Mata kuliah yang aku tempuh jauh berbeda dengan apa yang
aku rasakan dengan masa-masa belajarku dulu di SMA. Kali ini aku bergelut di
jurusan ilmu baru, program studi pendidikan administrasi perkantoran. Tak
pernah terfikirkan olehku dulu apa itu administrasi perkantoran. Aku hanya
mengira-ngira saat mendaftar dulu, progam studi itu adalah sebuah program studi
yang mempelajari dunia perkantoran. Itu saja tak lebih, tak memikirkan dan
mencari tahu yang lebih detail tentang program studi itu. Banyak pelajaran baru
yang aku dapatkan disini, tertuang dalam berbagai mata kuliah yang diajarkan
oleh berbagai dosen. Walau juga sebagian diantaranya tetap bergelut dalam
bidang ekonomi yang pernah aku pelajari di SMA, walau hanya sekilas saja.
Ujian akhir semester pada semester satu pun datang, itu
adalah ujian akhir semester pertamaku saat kuliah. Aku pun berusaha belajar
dengan sebaiknya. Berharap bisa mendapatkan indeks prestasi sebaik mungkin.
Ujian akhir semester mulai berjalan. Sangat berbeda dengan kala SMA, tak ada
yang namanya nomer urut ujian dan pindah ke kelas lain untuk mengerjakan soal
ujian. Ruangan yang di pakai sama, hanya satu dua memang yang terpaksa pindah.
Teman-teman pun tak ada yang berbeda, berbeda kala aku SMA dulu yang biasanya
akan berdampingan dengan adik kelas atau pun kakak kelas di samping tempatku
duduk.
Hari pertama ujian, tak terkira sebelumnya teman-temanku
kuliah datang lebih awal. Kulangkahkan kakiku menuju ruangan ujian, terlihat
bangku-bangku itu sudah mulai penuh. Benar-benar pemandangan yang berbeda,
nampak bangku-bangku itu menjadi rebutan untuk diduduki. Bangku-bangku itu
diatur berjauhan antara satu bangku dengan yang lainnya. Sebuah bangku kuliah
yang hanya memang muat untuk satu orang itu pun sudah terlihat terpenuhi di
bagian barisan paling belakang. Bangku
kuliah yang mempunyai meja kecil di depannya itu hanya menyisakan barisan depan
yang kosong. Bagiku itu tak masalah, aku
memang suka bangku di barisan depan kala ujian. Walau kala waktu jam
perkuliahan biasa, aku lebih suka di bagian belakang. Barisan depan menurutku
adalah barisan yang paling kondusif dan tenang. Tak seperti barisan belakang
yang ramai terdengar bisikan dan gaduh dengan isyarat. Tak dipungkiri memang,
barisan belakang menjadi sebuah barisan yang menjadi tempat favorit bagi
orang-orang yang suka mencontek atau bekerja sama kala ujian. Mungkin di
barisan belakang menjadi posisi paling aman, karena jauh dari jangkauan posisi
sang pengawas.
Aku sadar memang aku bukanlah orang yang sangat pintar, tetapi
bagiku tak masalah jika duduk di bangku paling depan. Kebalikkan dari para
pencontek yang merasa aman duduk di barisan belakang, maka mahaiswa-mahasiswa
yang ingin jujur pun sangan merasa aman duduk di barisan paling depan. Di
bagian barisan paling depan, jarang dijumpai godaan-godaan untuk mencontek dan
juga bekerja sama. Bagiku, tak masalah jika tak bisa bekerja sama dengan teman
yang lain. Tak masalah jika tak bisa meminta contekan kepada teman yang lain.
Bagiku ujian bukan hanya berorientasi tentang nilai yang harus aku peroleh,
bukan hanya berorientasi pada besarnya indeks prestasi yang akan aku peroleh.
Ujian itu bagiku memang sebagai tolak ukur kemampuanku. Semua harus aku
kerjakan dengan baik serta dengan proses yang baik pula. Aku tak akan bangga
jika mendapatkan nilai yang bagus tapi hanya karena sebuah contekan. Hal itu
sama saja bukanlah hasil dari kerja kerasku sendiri. Lebih baik berapapun
hasilnya tetapi adalah jerih payahku sendiri. Bagiku tetap seperti prinsipku
kala SMA dulu, proses yang baik itulah yang akan memberikan manfaat yang baik.
kejujuran itu pun harus aku lakukan, karena itu juga bagian dari ujian.
Hari-hari ujian pun akhirnya selesai, semua berjalan dengan
lancar, terkecuali satu ujian mata kuliah yang aku terkendala olehnya. Mata
kuliah pengantar akuntansi, aku tak bisa
menguasainya. Aku tak bisa menguasai
mata kuliah yang selalu berhubungan dengan debit kredit itu. Mata kuliah yang
sering kali membicarakan uang. Menghitungnya dengan angka berjuta-juta, namun
hanya angka saja. Taka da uang aslinya. Kala ujian mata kuliah itu, soal-soal
yang keluar sungguh tak sesuai dengan yang aku pelajari. Aku benar-benar merasa
tak bisa mengerjakan dengan maksimal. Kenapa soalnya begitu berbeda dengan yang
aku pelajari, fikirku mungkin karena dosen yang mengajar mata kuliah itu sempat
berganti dosen di tengah semester. Dari beberapa soal yang ada di lembar soal,
aku tak bisa mengerjakan semua. Aku berfikir mungkin aku akan mendapatkan nilai
yang jelek pada ujian kali ini. Sempat berfikir tergoda untuk meminta bantuan
kepada teman yang berada di dekatku, seolah setan berbisik mengatakan bahwa
jika aku tak menyontek nilaiku akan buruk sekali. Aku sempat ragu dengan
prinsipku, aku melihat lembar jawaban yang ada di depanku masih banyak yang
kosong. Waktu terus berjalan, akhirnya aku putuskan untuk tetap tak meminta
bantuan pada teman-temanku. Lebih baik aku tak menjawabnya, daripada lembar
milikku terisi oleh jawaban orang lain. Akhirnya lembar jawaban milikku hanya
terisi beberapa jawaban, tak bisa semua aku isi. Aku hanya pasrah, yang penting
aku berusaha jujur.
Yudisium, masa dimana mahasiswa akan melihat hasil ujian
yang telah dilaluinya. Yudisium seperti halnya pembagian rapot kala SMA. Perbedaannya,
saat SMA dulu nilaiku diberikan berupa
cetakan dalam sebuah kertas. Namun di kampusku ini diberitahukan secara online.
Lagi-lagi di kampusku, semua dilakukan dan dilihat di sistem yang bernama
sikadu itu. semua serba online, harus diakses melalui internet. Aku pun
membuka akun milikku yang ada di sikadu, setelah log in terdapat
beberapa menu yang bisa mahasiswa pilih. Mataku tertuju sebuah tulisan yaitu
yudisium, segera aku klik menu itu. Segera lah muncul nilai-nilaiku pada
semester itu. Aku sempat tersenyum melihat nilai-nilaiku di bagian atas,
terlihat nilai A, nilai AB, nilai B. Aku pun tak sabar untuk melihatnya
satu-satu, aku langsung menarik cursor ke arah paling bawah. Sebuah
bagian yang tertera rekap hasil nilai pada semester itu. Sontak senyumku berubah
menjadi rasa sedih yang mendalam, tak terkira hasil pada semester satu itu
sangat buruk bagiku. Jauh sekali dari target yang aku harapkan. Tertulis jelas
bahwa indeks prestasiku kala itu adalah 3,02. Nilai yang begitu amat buruk
fikirku, berbeda dengan teman-temanku yang kala itu membukanya lebih dulu.
Banyak mereka yang indeks prestasinya lebih dari 3,5. Oh aku begitu kaget dan
terpuruk. Aku coba amati nilai-nilaiku. Bagian atas kulihat baik-baik, namun
mataku terkaget dengan sebuah nilai yang tertera pada mata kuliah pengantar
akuntansi. Tertulis nilai CD, dengan nilai asli 55. Oh mungkin inilah yang
membuat nilaiku terpuruk, karena memang mata kuliah pengantar akuntansi
memiliki bobot 3 sks. Tak terkira aku gagal pada mata kuliah itu.
Rasa sedih pun kian bertambah ketika melihat teman-temanku
mempunyai indeks prestasi yang lebih baik di atasku. Apalagi saat mengetahui
beberapa teman yang aku ketahui di menyontek saat ujian tapi indeks prestasinya
lebih baik dariku. Hal itu sungguh membuat hati ini bersedih. Namun ada
perasaan senang saat mengetahui ada temanku yang sangat jujur kala ujian dan
hasilnya sangat baik pula. Aku juga tak mengerti mengapa orang-orang yang suka
menyontek itu bangga dengan indeks prestasinya. Padahal itu bukan musrni hasil
kerjaannya sendiri. Bahkan sungguh membuat diri ini sebal ketika mereka itu
memperbincangkan indeks prestasi mereka di depanku. Apa mereka tak merasa malu
pada orang lain. Membiacarakan bahkan meributkan indeks prestasi mereka padahal
itu bukan diperoleh dari cara yang jujur. Memang setelah aku pahami diantara
orang yang paling senang saat yudisium itu adalah seorang yang jujur yang
indeks prestasinya diatas para penyontek. Namun yang merasa sedih adalah
mahasiswa yang mengalami nasib sebaliknya, mereka yang jujur tapi indeks
prestasinya dibawah para penyontek. Sedangkan mahasiswa yang tak tahu malu
adalah mereka para penyontek yang masih saja meributkan indeks prestasinya.
INDEKS PRESTASI 3,02
membuatku cukup prihatin dan takut, nilai sekecil itu mendekati batas minimal
yang harus aku dapatkan sebagai seorang
mahasiwa bidikmisi sebesar 3,0. Kekhawatiran itu pun berlanjut kala
diinformasikan bahwa akan diadakan acara khusus untuk para mahasiswa bidikmisi
di Unnes. Acara monitoring and evaluation, sebuah acara untuk
mengevaluasi prestasi akademik mahasiswa bidikmisi. Aku pun datang, apapun yang
terjadi aku tak mungkin tidak datang. Acara itu diselenggarakan di gedung
rektorat Unnes, seperti biasanya terlihat rekan-rekanku sesama bidikmisi yang
datang berbondong-bondong. Tak biasanya acara kali ini diselenggarakan di
gedung rektorat, mungkin auditorium Unnes sedang dipakai untuk satu acara lain
yang lebih penting.
Acara dimulai, sambutan demi sambutan diberikan. Tiba lah
giliran Pak Alamsyah, beliau adalah seorang dosen yang diberikan tugas oleh
Unnes sebagai pendamping mahasiswa bidikmisi. Tak disangka dalam sambutannya,
beliau menampilkan sebuah tabel di layar proyektor yang sudah terpasang lebar
di depan kami para mahasiswa bidikmisi. Tabel itu adalah tabel yang menuliskan
secara jelas indeks prestasi mahasiswa bidikmisi semuanya. Tak terkecuali
namaku yang tertera jelas disitu dengan indeks prsetasi hanya 3,02. Terlihat dalam tabel itu telah diurutkan dari
indeks prestasi tertinggi hingga yang paling rendah. Angka-angka dan nama-nama
dalam indeks prestasi itu diberikan dua kategori warna, warna merah dan warna
hijau. Warna hijau dimulai dari indeks prestasi 3,0 hingga yang lebih tinggi darinya.
Sedangkan indeks prestasi di bawah 3,0 diberi warna merah. Tentu saja namaku
tertera tepat di sekitar bagian atas warna merah, walau aku masih di kategori
warna hijau. Warna merah menandakan bahwa mahasiswa bidikmisi tersebut dalam
zona tak aman, tak aman posisinya sebagai penerima bidikmisi. Warna hijau
menandakan bahwa mahasiswa bidikmisi tersebut masih dalam zona aman untuk
mempertahankan bidikmisinya. Aku pun tak menyangka ternyata banyak juga
mahasiswa bidikmisi yang IP-nya dibawahku. Ada puluhan mahasiswa bidikmisi yang
dalam zona merah. Pasti mereka lebih cemas dan gelisah daripada aku.
Teman-temanku terlihat begitu memperhatikan tabel itu, ada
wajah ceria yang terlihat karena melihat indeks prestasinya yang bagus. Ada
pula yang sangat gelisah karena indeks prestasinya berada di zona merah. Di
tengah acara yang sedang berlangsung, tiba-tiba datanglah Bapak Masrukhi.
Beliau adalah Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Unnes, seketika kami pun
menyambutnya mengikuti kode dari Pak Alamsyah. Pak Masrukhi, banyak temanku
bidikmisi yang menyebutnya sebagai bapaknya bidikmisi di Unnes. Setelah
kedatangan beliau, Pak Alamsyah mempersilahkan Pak Masrukhi untuk memberikan
nasehat kepada kami. Terlihat begitu wibawanya Pak Masrukhi menurutku, Pak
Alamsyah terlihat begitu sangat menghormati beliau. Saat pertama kali melihat
beliau, aku kira beliau adalah rektor Unnes.
Pak Masrukhi mulai berdiri di depan kami semua, beliau
memulainya dengan semangat meneriakkan jargon Unnes. Aku kira beliau hanya akan
memberi nasehat pada kami, tetapi aku salah. Kedua mata beliau tertuju juga
pada sebuah tabel yang tertera di layar proyektor, beliau tersenyum karena
melihat banyak mahasiswa yang Indeks prestasinya tinggi. Salah satunya adalah
Raeni, temanku mahasiswa bidikmisi fakultas ekonomi dari progam studi
Pendidikan Akuntansi yang mampu meraih indeks prestasi 4,0. Beliau pun
memberikan selamat dan mengapresiasi Raeni atas keberhasilannya, begitu juga
kepada para mahasiswa bidikmisi yang
memperoleh indeks prestasi yang tinggi kala itu.
Waktu terus berjalan, Pak masrukhi kini justru meminta
panitia untuk mengarahkan tabel indeks prestasi itu ke arah paling bawah. Deg,
sebuah degup jantung pasti terasa bagi mahasiswa yang namanya tertera di bagian
paling bawah. Nama-nama dengan warna merah itu pun diperlihatkan dengan begitu
jelas untuk waktu yang sangat lama. Rasa malu karena berada paling bawah pasti
begitu mendera mereka. Mungkin mereka sangat tak ingin wajah mereka dilihat
oleh teman mereka di sekelilingnya. Rasa malu itu pun mungkin juga bercampur
dengan rasa takut akan sangsi jika akan di marahi bahkan diberhentikan
bidikmisinya.
Ketegangan pun masih berlanjut, Pak Masrukhi kemudian
memanggil nama-nama yang ada di bagian paling bawah itu. Nama-nama para
mahasiswa bidikmisinya yang indeks prestasinya paling rendah. Satu dua nama di
panggil, kami saling menoleh ke berbagai penjuru. Siapa gerangan mahasiwa yang
dipanggil oleh beliau. Setelah beberapa kali dipanggil akhirnya satu per satu
nama-nama yang beliau panggil itu pun maju ke depan. Rasa malu dan takut tak
bisa mereka sembunyikan di balik raut wajah mereka, hanya sesekali tersenyum
terpaksa di balik wajah meraka yang sering menunduk. Sungguh pastinya, aku
tidak bisa membayangkan jika aku yang berdiri di depan ratusan mahasiswa
bidikmisi saat itu, pasti sungguh malu tak terkira. Aku masih bersyukur bisa
mendapat indeks prestasi lebih dari 3,0. Ini merupakan pembelajaran besar
bagiku, aku tak boleh mendapatkan indeks prestasi seperti ini lagi. Apa lagi
sampai mendapatkan indeks prestasi di bawah 3,0.
Para mahasiswa bidikmsi yang ada di depan itu pun satu
persatu ditanyai oleh Pak Masrukhi.
“Kamu kenapa indeks prestasinya sekecil itu?”
“Maaf pak, kemarin saya sakit cukup lama. Jadi tidak
maksimal dalam kuliah saya” jawab salah satu mahasiswa.
“Lha kalau kamu? dan kamu?” Pak masrukhi bertanya pada
beberapa mahasiswa yang ada di depan itu.
Jawaban dari beberapa mahasiswa terdengar ada yang memang
bisa di terima, ada pula yang tidak bisa diterima. Mendengar jawaban-jawaban
itu Pak masrukhi ternyata tidak memarahi mereka, Pak Masrukhi justru tetap
menasehati mereka dan juga menasehati kami. Mungkin itu lah cara terbaik untuk
mendidik seseorang untuk memperbaiki diri. Bukan dengan cara memarahi atau
selalu membentak, tetapi dengan cara menyemangati agar kesalahan yang sama
tidak diulangi untuk kedua kalinya.
Acara itu pun berakhir dengan semangat dan banyak nasehat
dari Pak Masrukhi. Acara itu tentu menjadi pembelajaran besar bagiku dan para
mahasiswa bidikmisi lainnya. Kami harus bisa melaksanakan ketentuan yang telah
Unnes tetapkan. Kami harus mampu meraih indeks prestasi di atas 3,0, kalau tidak maka kami harus merelakan status
bidikmisi kami untuk dievaluasi lebih lanjut. Apakah masih layak dipertahankan
atau sudah waktunya untuk diberhentikan.
TARGET IP SEMESTER DUA, aku
menargetkan mampu memperoleh indeksi prsetasi di atas 3,5. Ya itu lah target
yang ingin aku peroleh di semester depan.
Tak ingin aku mengulangi lagi mendapatkan IP hanya sebesar 3,02. Aku
mulai mengevaluasi diriku sendiri, apa yang menyebabkan aku hanya mampu
mendapat Ip sekecil itu.
Baca Juga : Keuntungan-Keuntungan Yang Bisa Didapatkan Ketika Menjadi Mahasiswa Bidikmisi
Baca Juga : Keuntungan-Keuntungan Yang Bisa Didapatkan Ketika Menjadi Mahasiswa Bidikmisi
Aku mulai menyadari, bahwa
semangat belajarku saat kuliah tak seperti di kala SMA. Aku belum seserius
dulu, padahal saat ini mata kuliah yang harus aku tempuh sungguh berbeda dengan
apa yang aku pelajari kala SMA. Ah apa itu yang menyebabkan IP yang kuperoleh
rendah, karena memang mata kuliahnya adalah ilmu-ilmu baru yang aku temui. Aku
sempat beralasan pada diri sendiri bahwa ini bukan lah salahku, memang aku tak
boleh menyalahkan diriku karena aku memang baru mengahadapi mata kuliah tentang
pendidikan adminsitrasi perkantoran. Ah mungkin ini juga lingkungan kos yang
tidak mendukung, kosku tak terlalu cocok untuk bisa belajar dengan baik, aku
menyalahkan kosku.
Sejenak kembali ke fikiranku yang jernih, jika bukan
salahku maka salah siapa hingga hasilnya seperti ini. Tak mungkin justru
menyalahkan mata kuliahnya, menyalahkan lingkungan atau justru menyalahkan
orang lain. Aku mulai sadar bahwa semua berasal dari diri sendiri. Faktor dari
dalam diri itu lah yang utama, faktor dari luar tak terlalu banyak yang
memperngaruhiku. Ah ini memang salahku, aku memang yang kurang semangat dalam
belajar hingga nilai-nilaiku tak begitu bagus. Rasa bersalah itu semakin
terasa, selama ini dari dulu sejak SD hingga SMA aku merasa selalu bisa meraih
prestasi di antara teman-temanku. Saat ini, aku tak mampu sedikitkpun berbangga
karena hasil yudisiumku. IP 3,02 adalah nilai yang begitu kecil.
Aku mulai menata lagi semangatku dalam belajar, target semester
dua ini IP harus mampu di atas 3,5. Target untuk bisa mendapatkan IP cumlaude,
mungkin jika bisa cumlaude aku bisa mengulang mata kuliah pengantar
akuntasi yang mendapat nilai CD itu. Di kampusku tepatnya di prodiku, setiap
mahasiswa diberikan beban jatah mata kuliah yang harus diselesaikan di setiap
sesmester rata-rata adalah 22 sks mata kuliah. Untuk dapat mengambil jatah 22
sks itu maka setiap mahasiswa harus mempunyai IP di atas 3,0 di semester
sebelumnya. Untuk bisa mengambil jatah di atas 22 sks, maka seorang mahasiswa
harus mampu memperoleh IP diatas 3,5. Saat itulah baru bisa dan boleh mangambil
24 sks. Dengan sistem seperti tersebut tak heran setiap mahasiswa punya waktu
lulus yang berbeda-beda. Semakin kecil IP yang diperoleh maka semakin sedikit
pula mata kuliah yang bisa diambil mahasiswa, hingga akan menyebabkan mahasiswa
tersebut membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan semua mata kuliah yang
memang di wajibkan. Hal itu yang menyebabkan ada mahasiswa yang lulusnya lama
hingga belasan semester. Sebaliknya mahasiswa yang mampu memperoleh IP yang
tinggi, maka semakin banyak pula mata kuliah yang bisa dia ambil. Hal itu
menyebabkan mahasiswa itu mampu menyelsaikan kuliahnya lebih cepat dari yang
lainnya.
Memperoleh IP 3,5 dan mendapat jatah 24 sks, Inilah
kesempatanku untuk bisa mengulang mata kuliah pengantar akuntansiku dulu. Aku
harus mampu mengambil jatah 24 sks di semester tiga, semester dua ini harus
mendapat IP diatas 3,5. Hari-hari kuliahku berikutnya lebih aku ikuti dengan serius
dan semangat. Aku harus mengejar nilai setinggi-tingginya. Waktu pun bergulir
begitu cepat hingga tiba lah saat ujian akhir semester dua. Aku belajar dengan
begitu serius, semester ini aku akan perbaiki IP-ku.
Ujian akhir semester dua berjalan dengan lancar, semua
terselesaikan dengan baik. Aku sangat berharap kesalahan di semester satu tidak
akan terulang lagi. Cukup lah satu kali aku mendapat IP 3,02. Walau sebenarnya
IP tersebut di kalangan mahasiswa biasa adalah suatu yang cukup, tidak buruk
dan juga tidak istimewa. Merupakan IP yang dianggap wajar, mungkin dikatakan
rata-rata. Tetapi aku sadar akan posisiku, aku adalah seorang mahasiswa
bidikmisi. IP 3,02 itu adalah IP yang sangat kecil. Mahasiswa bidikmisi harus
mampu memperoleh IP yang lebih dari itu.
Yudisium semester dua pun tiba, kembali aku melihatnya via online.
Aku lihat nilaiku satu persatu, banyak yang mendapat nilai A. Aku senang
sekali, hasil belajar dan semangatku tak sia-sia. Aku pun segera lihat nilai
total yang aku dapatkan, tak aku duga dan benar-benar membuatku bersedih
kembali. Tepat tertulis di keterangan indeks prestasi tertulis kurang dari
targetku untuk bisa diatas 3,5. Ternyata saat itu tertulis dengan jelas angka
3,50 saja. Ah kenapa tidak bisa diatas 3,50 tetapi tepat di angka 3,50 saja.
Dengan IP 3,50 itu sama saja aku tidak bisa mengambil jatah 24 sks, karena
batas minimal untuk dapat mengambil 24 sks adalah 3,51. Selisih IP yang aku
peroleh kala itu dengan batas minimalnya adalah hanya lah 0,01. Oh begitu tipis
sekali, aku cukup bersedih juga karena belum mampu melalui target yang aku
tentukan. Aku melihat nilai-nilaiku ternyata ada beberapa yang memang tepat
diantara batas nilai. Beberapa mata
kuliah mendapat nilai 85, jika 86 maka kategori nilainya sudah berubah lagi. Oh
bapak ibu dosenku, kenapa tak memberikan nilai 86 sekalian buatku. Fikiranku
melayang-layang. Angka 85 terlalu banyak menggantung harapan buatku. Mungkin
memang itulah batas kemampuanku, aku tak boleh menyalahkan dosen-dosenku.
Kala yudisium tiba, di fakultas ekonomi tempatku berada.
Setelah yudisium itu akan selalu diadakan perwalian terpadu dengan dosen wali.
Sebuah acara seperti evaluasi dan pemberian nasehat antar anak dan orang tua.
Hal ini dilakukan sebagai bentuk pendampingan terhadap mahasiswa. Aku pun
datang kala itu. Dosen waliku adalah perempuan, beliau bernama ibu Nina
Oktarina. Sosok yang begitu ramah dan sangat peduli kepada
mahasiswa-mahasiswanya. Beliau juga merupakan dosen yang sering aku temui dalam
mengajar beberapa mata kuliah yang aku tempuh. Perwalian itu diadakan serentak
di fakultasku. Bu Nina biasa aku menyapanya, beliau memberikan berbagai
informasi dan nasehat kepapa kami, tak terkecuali kepadaku.
“Agus, dipertahankan ya prestasinya. Teman-temanmu semester
ini banyak yang indeks prestasinya turun drastis. Namun kamu justru naik sangat tinggi”
Bu Nina
menyemangatiku, aku pun dengan senang hati mendengarkan nasehat-nasehat beliau,
karena beliaulah juga merupakan sosok orang tuaku di fakultas ekonomi ini. Aku
pun mengetahui di saat kegiatan perwalian itu, bahwa sebagian besar
teman-temanku indeks prestasinya menurun. Memang seperti itu lah rumor yang aku
dengar dari kakak tingkat, semester satu banyak mahasiswa yang IPnya
tinggi-tinggi namun kala semester dua justru akan banyak yang anjlok. Hal itu
memang terbukti kala itu, terjadi sendiri di antara teman-teman sekelasku dan
juga kelas yang lain. Hal itu namun tak terjadi padaku, aku justru mampu
menaikkan IP yang aku miliki di kala teman-temanku justru turun. Walau aku
tidak mampu melampaui target yang aku tentukan, namun aku senang bisa
memperbaiki IP yang kuperoleh. Aku pun juga senang, ternyata semangat belajarku
mampu membuatku berbeda dengan teman-temanku dalam semester dua ini.
Semester-semester berikutnya tak
ada lagi IP setara 3,02. IP yang ku peroleh di semester berikutnya tetap stabil
tak jauh diantara 3,5. Naik turun pun aku alami sebagai seorang mahasiswa
biasa, tapi tak pernah lagi aku mengalami IP 3,02 lagi. Beberapa kali juga
pernah merasakan IP cumlaude, akhirnya bisa di atas 3,5. Hal itu karena
memang sudah ada tekad dan semangat untuk tak mengulangi kesalahan yang sama. Ini diantara cara saya mendapatkan IP lebih dari 3,0 silahkan dibaca di link ini Cara Mendapatkan Indeks Prestasi (IP) Lebih Dari 3,0. Mulai di semester tiga dan selanjutnya nilai dalam IP justru tak begitu aku
prioritaskan setinggi-tingginya, yang penting aku belajar sebaik mungkin. Tak
tergambarkan lagi aku harus punya mimpi mendapat IP 4,0 seperti saat awal-awal
kuliah. Hanya standar yang aku tetapkan setidaknya mampu cumlaude saja.
hal itu karena sejak semester tiga aku mulai suka dengan yang namanya
berorganisasi di kampus. Hingga akhirnya
sampai di semester delapan aku bertahan di indeks prestasi 3,48. Sempat
terfikir lucu olehku, ntah kebetulan atau memang ini adalah rencana unik dari
Allah. Semester satu indeks prestasiku adalah 3,02 dan di semester dua adalah
3,50. Dua angka dibelakang koma itu selisihnya adalah 0,48, dan ternyata dua
angka itu adalah menjadi dua angka di indeks prestasi komulatifku saat diwisuda
yaitu 3,48. Hal itu benar-benar luar biasa bagiku. Aku pun senang dengan IP
yang aku peroleh itu, berapapun itu adalah hasil dari semangat dan kerja
kerasku. Maka tak lain aku harus mensyukurinya, supaya akan menjadi transkip
nilai yang bermanfaat.
Pertama, untuk dapat
beradaptasi dengan sesuatu yang baru kita perlu mempelajarinya lebih dalam.
Tidak menyamakan sesuatu yang memang dasarnya berbeda, karena hasilnya pasti
berbeda. Beda kuliah beda dengan kala SMA, kita harus melakukan penyesuaian.
Kuliah tak seperti kala SMA, semua tersaji enak dihidangkan oleh para guru.
Kuliah membutuhkan mahasiswa untuk menghidangkan ilmu pengetahuan yang harus ia
kuasai. Apalagi jika terjun dalam kuliah dengan dasar jurusan yang
berbeda kala SMA. Kala kuliah sang dosen hanya memberi resep dasarnya,
mahasiswa yang akan meraciknya menjadi sebuah menu pengetahuan yang siap
dicerna dengan enak dan mudah. Perlu semangat lebih, perlu kemandirian lebih,
perlu kreatifitas lebih. Semuanya demi beradatasi dengan dunia perkuliahan
dengan baik, hingga akhirnya mampu meraih prestasi yang baik pula.
Kedua,
jadi orang harus mempunyai standar
prestasi tersendiri. Bukan selalu mengikuti standar rata-rata yang dikatakan
banyak orang. Jika demikian, maka tak lain kita akan memperoleh prestasi
rata-rata. Seorang penerima beasiswa, harus mempunyai standar lebih dari
mahasiswa biasa. Sadar diri kita telah diberikan berbagai hak istimewa dan
berbagai dukungan pembiayaan kuliah sebagai seorang penerima beasiswa
dibandingkan mahasiswa biasa. Maka tentu kita harus mampu berada di atas
mahasiswa biasa. Bukanlah sebuah tuntutan menjadi yang lebih baik, tetapi memang
kewajiban bagi kita untuk berusaha lebih baik dari yang lain. Tak hanya melihat
apa yang telah kampus berikan kepada kita, tapi mungkin kita harus berfikir apa
yang dapat kita berikan pada kampus kita.
Ketiga,
hasil yang buruk dari suatu pekerjaan
sering kali berawal dari ketidakseriusan kita dalam mengerjakannnya. IP 3,02
itu adalah hasil yang buruk menurutku, karena memang aku sadari aku tidak
begitu fokus kala itu. Sering kali kita terlalu menganggap mudah sesuatu
pekerjaan, bahkan menyepelekannya walau memang sebenarnya pekerjaan itu awalnya
adalah kategori pekerjaan yang mudah. Ketidakseriusan tersebut justru
menjadikan hal yang mudah itu menjadi tak terselesaikan. Sering kali seorang
yang mempunyai mata yang normal justru terjatuh karena tidak fokus dalam
berjalan, dan justru banyak orang yang tuna netra yang jarang terjatuh karena
dia begitu fokus dalam berjalan.
Keempat,
sebuah hasil yang kita peroleh tak
akan berada sangat jauh dari target yang kita tentukan. Aku targetkan IP diatas
3,5, hasilku pun ternyata tak jauh dari itu. Walau aku hanya mampu memperoleh
IP 3,5. Hal itu sangat tipis dengan targetku. Sering kali kita tak mentargetkan
sesuatu, jadi hasilnya pun tak karuan. Hal seperti itu pun terjadi saat aku
semester satu. Namun kala kita mempunyai target, kita tentu akan berusaha
mewujudkannya. Itu lah kekuatan sebuah target, layaknya seperti pemanah yang
mengarahkan busur panahnya ke sebuah titik sasaran. Hasilnya pun tentu panahnya
akan menancap di sekitar titik itu, walau sering kali tidak tepat mengenai
titik sasaran yang diinginkan. Mungkin juga seperti seseorang yang berusaha
mampu menaiki seratus tangga, dia akan berusaha sebaik mungkin untuk bisa
menaiki ke seratus tangga. Walau dia lelah dan letih, tapi karena ada sesuatu
hal di tangga seratus itu yang sangat dia inginkan. Pastilah dia akan tetap
naik dan naik. Akhirnya seseorang itu pun dapat menaiki serratus tangga itu,
namun tak banyak orang seperti dia yang punya target yang sama, yang bisa
menyelesaikan seratus tangga itu. Banyak
yang tak mampu pula, namun akan sulit dipungkiri bahwa seseorang yang berusaha
naik seratus tangga itu tentu akan mampu berada hingga di dekat tangga ke
seratus, ntah tangga ke delapan puluh atau ke sembilan puluh. Itu lah sebuah
target, walau kadang tak bisa meraihnya namun jika kita mau berusaha maka
hasilnya kita akan berada mendekati target itu. Syukur-syukur akan bisa
melampaui target itu.
Kelima,
tidak ada kata gagal bagi orang yang
telah berusaha. Orang yang gagal adalah orang yang tak mau berusaha. Apapun
hasil dari usaha seseorang maka itu lah tingkat keberhasilannya. Sering kali
kita berfikir, bahwa kita gagal ketika tidak bisa memperoleh hasil yang kita
harapkan. Kita justru mengatakan bahwa kita telah gagal. Aku rasa itu adalah
suatu yang salah, karena kita harusnya menyadari bahwa setiap hasil dari usaha
kita itulah memang tingkat keberhasilan dari kemampuan kita. Kita tahu bahwa
setiap manusia diberikan batas kemampuan yang berbeda dari Allah, kita pun tak
bisa memaksakan kemampuan kita untuk memperoleh hasil paling baik diantara yang
lain. Kita juga tak pernah tahu akan hasil yang mana yang justru memberi
manfaat pada kita. Belum tentu apa yang kita katakan sebagai hasil yang
maksimal itu adalah hasil yang terbaik bermanfaat bagi kita. Saat kita mampu
menghargai apapun hasil yang kita peroleh, saat itu pula kita telah bersyukur
pada Allah atas segala ketentuan-Nya. Namun bukan berarti kita akan berhenti
dengan rasa syukur kita, tanpa berusaha menjadi lebih baik lagi. Rasa syukur
itu harusnya mampu memotivasi kita untuk tetap berusaha meraih keberhasilan
yang lebih baik lagi.
0 Response to "IP 3,0 - Catatan Sang Bidikmisi ke-7"
Post a Comment