SORE HARI
seorang anak kecil duduk gelisah di teras rumahnya menanti ayahnya pulang dari
kerja. Tak nyaman dengan duduk-duduk saja, anak kecil itu mondar-mandir keluar
masuk rumahnya yang kecil sederhana dan sesekali melihat ke arah jalan di depan
rumahnya berharap akan melihat ayahnya segera pulang membawakan oleh-oleh
untuknya. Tak terasa sampai matahari tenggelam dan suara adzan mulai
berkumandang tetapi sang ayah tak kunjung terlihat olehnya. Raut muka anak
kecil itu berubah dari segar ceria menjadi sedih tiada terkira, karena sang
ayah yang ditunggu-tunggunya kenapa tak kunjung pulang. Hingga diam
kesedihannya tersadarkan oleh ibunya yang menyuruhnya masuk ke dalam rumah
karena hari terlihat sudah mulai gelap. Itulah yang kuingat kala aku menunggu
kepulangan ayahku di suatu sore hingga di sore-sore berikutnya aku tak bertemu
dengannya untuk sekian lamanya.
Ayahku
adalah seorang tukang kayu yang begitu sangat aku sayangi. Sewaktu kecil aku
sangatlah dimanja olehnya. Apapun yang kuminta pasti ia belikan, hingga di kalangan
teman-temanku saat itu aku lah anak yang memiliki jumlah mainan terbanyak. Hal
itu hanya sekejap saja, sejak sore itu semua seolah berputar seratus delapan
puluh derajat. Kurasa tiada lagi kutemui ayahku, tiada lagi orang yang bisa aku
mintai ini itu. Tiada lagi sosok yang biasa mengajakku jalan-jalan dengan
sepeda ontelnya.
Kini
hanya tinggal ibuku yang menemaniku beserta kakak-kakakku yang berada di rumah.
Ibuku, aku memanggilnya dengan kata “Emak”.
Emak adalah suatu panggilan untuk sosok ibu yang biasa diucapkan oleh orang
Jawa, diantaranya adalah di daerahku kabupaten Pati Jawa Tengah.
“Mak,
Ayah kemana?”. Tanyaku
.
Itulah
pertanyaan yang biasa aku tanyakan kepada ibuku. Ibuku dengan tenang menjawab
pertanyaanku,
“Ayahmu sedang pergi merantau nak, nanti juga
akan pulang. Biar bisa belikan mainan untukmu”.
“Oh
begitu ya Mak, tetapi kapan pulangnya Mak?.
Aku
kecil yang
baru berusia lima tahun hanya bisa mengiyakan perkataan ibuku. Tak
mencoba untuk mencari tahu apakah benar ayahku pergi merantau atau kemana perginya.
Hari-hari berikutnya mulai terdengar olehku omongan-omongan tetanggaku yang
ramai membicarakan ayahku. Aku yang masih kecil seusiai itu, tetap saja aku
seolah tak peduli dan lebih suka bermain-main saja dengan teman-temanku. Ntah
apa yang para tetanggaku perbincangkan.
Suatu
hari ibuku mengajakku pergi ke suatu tempat untuk mendatangi seseorang. Dengan
diboncengkan sepeda ontel biru merk Cina yang biasa dipakai ayahku untuk
memboncengkanku, ternyata yang ditemui ibuku adalah sosok orang tua yang sering
aku lihat bersama ayahku. Orang yang ditemui ibuku adalah teman seprofesi
ayahku, yaitu seorang tukang kayu. Tanpa sengaja aku pun mendengarkan
pembicaraan ibuku dengan orang tua itu. Ibuku menanyakan kemana perginya
ayahku. Sejak saat-saat itu aku mulai paham bahwa selama ini ibuku juga tidak
tahu kemana ayahku pergi. Ibuku hanya berusaha menenangkanku supaya tidak
bersedih. Mulai dari hari itu aku sering diajak ibuku menemui orang-orang yang selama
ini belum pernah aku temui sebelumnya. Pergi kesana-kemari, bertanya ke satu
dua orang. Hingga ntah berapa banyak yang ibuku tanyai. Terlihat betapa sedihnya
ibuku mencoba mencari dimana keberadaan ayahku. Ibuku seolah tak lelah menanyai
orang-orang yang dinggap tahu dimana ayahku berada, namun tetap hari demi hari
kulalui dengan ibuku dengan pergi ke berbagai tempat, tetap saja tak pernah
kulihat ayahku lagi. Terlihat ibuku mulai menyerah untuk mencari ayah. Hingga
terlihat raut muka ibuku yang sangat kehilangan suaminya yang selama ini telah
mengaruniai empat orang anak dan yang satu masih sangat kecil yaitu aku.
Hari
demi hari, minggu demi minggu keluargaku hidup tanpa sosok ayah. Hingga
terdengar kabar tentang ayahku, tetapi kabar ini justru lebih menyakitkan lagi
terhadap ibu dan keluargaku. Ayahku ternyata pergi ke pulau Sumatra dengan membawa
seorang wanita yang ternyata itu adalah tetanggaku juga. Ibuku pasti sangat
hancur hatinya, pernikahan yang telah dijalani selama bertahun-tahun telah
dikhianati ditinggal pergi dengan perempuan lain. Pertama kabar itu sangat
sulit dipercaya. Mana mungkin ayahku berbuat semacam itu. Akhirnya, karena ada
pamanku yang bertempat tinggal di Sumatra yang juga membenarkan kabar itu.
Sehingga tak lagi meragukan kabar yang menghebohkan desaku itu.
Sejak
kepergian ayah, perekonomian keluargaku menjadi kalang kabut. Ibuku terpaksa
menjual tanah demi bisa membiayai kebutuhan hidup kami. Kakakku yang pertama
pergi merantau, kakakku yang kedua perempuan terpaksa tidak jadi melanjutkan
pendidikan ke Perguruan Tinggi karena kasihan melihat ibuku yang masih harus
merawat aku dan kakakku yang ketiga yang masih SMP, sedangkan aku yang akan
menginjak SD. Padahal kakakku perempuan itu akan mendapat beasiswa di Perguruan
Tinggi untuk kuliah. Selama menempuh pendidikan di tingkat SMA juga mendapatkan
beasiswa. Sekolahnya diiringi dengan kerja serabutan seusai pulang. Hal itu karena
kalau mengandalkan biaya dari keluargaku pastinya ibuku tak mampu menyekolahkan
kakak perempuanku hingga sampai SMA. Dengan kepergian ayahku terpaksa kakakku
perempuan itu seusai lulus SMA langsung bekerja dan merantau ke Jakarta. Kepergian
ayahku itu membuat keluargaku jatuh miskin. Serta yang lebih berat lagi adalah
akibat dari perbuatan ayahku yang melanggar norma-norma di masyarakat itu,
membuat keluargaku sangat malu. Aku yang masih kecil sering diejek dan disindir
oleh teman-temanku karena ayahku seperti itu. Aku hanya bisa diam tak bisa
berbuat apa, paling-paling cuma bisa mengadu ke kakak-kakakku atau ke ibuku.
Beban
berat yang harus ditanggung ibuku dan kakak-kakakku. Seberat apapun itu, ibu
dan kakak-kakakku tetap tegar menjalani kehidupan. Mereka selalu menghiburku
supaya tidak iri kepada teman-temanku yang masih punya ayah. Aku yang dulunya
sangat manja kini menjadi anak kecil yang mulai sadar diri bahwa aku adalah orang
yang tak punya. Lambat laun pelan tetapi pasti aku mulai terbiasa hidup tanpa
sosok ayah. Walaupun terkadang sering membayangkan andai saja ayahku masih ada
bersamaku, pasti aku bisa bercanda tawa dengannya seperti teman-temanku yang
lainnya. Walau tak punya ayah tetapi aku sadar bahwa aku memiliki ibu yang luar
biasa yang sangat menyayangiku. Setiap saat setia mengantar dan menjemputku
sekolah kala SD. Ibu yang tak kenal lelah membesarkanku. Ibu yang harus
membanting tulang untuk membiayai sekolahku. Aku bangga menjadi anak dari
ibuku.
#Baca selengkapnya dalam novel "EMAK AKU INGIN KULIAH"
0 Response to "CHAPTER 1 - KEMANA AYAHKU ??? (NOVEL EMAK AKU INGIN KULIAH)"
Post a Comment