Konservasi adalah suatu usaha dalam pemeliharaan dan perlindungan terhadap suatu hal secara teratur
untuk mencegah kerusakan dan kemusnahannya dengan jalan mengawetkan dan
melakukan pelestarian. Konservasi, itu lah sebuah kata yang sering aku dengar
di kala masa-masa awal aku kuliah. Sebuah kata yang telah dikukuhkan oleh Unnes
menjadi label kampus. Unnes, perguruan tinggi yang kini menjadi kampusku telah
memplokasmirkan diri sebagai kampus konservasi tepat di tahun 2010. Bertepatan
dengan tahun aku masuk kuliah. Sebuah label baru yang mengusung konservasi
lingkungan, konservasi moral dan konservasi budaya.
Sebuah label baru telah
bersanding dengan nama kampusku kini. Label baru itu pun banyak melahirkan
kebijakan baru. Kebijakan-kebijakan baru itu pun banyak yang diperuntukan bagi mahasiswa.
Uji cobanya itu di prioritaskan juga untuk
para mahasiswa angkatanku yang memang baru masuk. Aku sebagai mahasiswa baru dan
juga para temanku masih begitu lugu dan polosnya menerima kebijakan-kebijakan
yang ada.
Banyak
kebijakan baru yang dibuat, kebijakan dalam hal berpakaian salah satunya. Sebagai
bentuk upaya untuk menjaga perilaku dan moral lewat cara berpakaian. Setiap
hari senin dan selasa memakai pakaian hitam putih, rabu dan kamis memakai batik
dan pada hari jum’at memakai seragam pramuka. Aku pun menerima saja kebijakan
itu, aku rasa tak ada salahnya kebijakan itu aku laksanakan. Malah bagus
fikirku, hal itu bisa menjadikan penyetaraan yang sama antar sesama mahasiswa. Tak ada persaingan
dalam hal berpakaian, tak ada kesenjangan yang terlihat antar si miskin dan si
kaya. Semuanya nanti bisa nampak setara. Kebijakan yang baik menurutku, namun
tat kala program kebijakan itu mulai berjalan satu minggu dua minggu maka mulai
lah terdengar suara para mahasiswa.
“Pengaturan pemakaian seragam
membatasi kebebasan berekspresi mahasiswa”
“Berseragam bagi mahasiswa sama
saja membuatnya seperti siswa SMA”
“Kami bukan para taruna yang
memang nampak bagus jika diseragamkan, tapi kami mahasiswa kami berbeda dengan
mereka”
Kalimat-kalimat seperti itu lah yang
sering aku dengar.
Mulai terdengar kritik dan saran di sana-sini, meminta kebijakan penyeragaman
itu ditinjau ulang. Dari mulai poster-poster yang bertebaran di mading-mading,
selebaran-selebaran menolak penyeragaman, acara-acara diskusi membahas
kebijakan penyeragaman, hingga munculnya lagu-lagu yang menolak hal itu. Sekarang fikiranku pun mulai sedikit berubah.
Awalnya aku meyakini hal itu adalah suatu kebijakan yang bagus, namun mulai
tersirat fikiran kritis yang terpengaruhi oleh suasana sekitarku. Mungkin
memang tak selayaknya menyamakan para mahasiswa lewat seragamisasi seperti itu,
ternyata sama itu belum tentu indah dan baik. Justru perbedaan lah yang memang
sering menimbulkan kreasi dan inovasi baru. Tingkat ekspresi mahasiswa yang
berbeda memang haruslah dihargai. Hanya saja memang pembatasan ekspresi juga
perlu dilakukan, agar berbagi ekspresi mahasiswa itu tidak menyimpang dari
aturan dan budaya bangsa.
Lambat
laun kebijakan penyeragaman mulai ditinjau ulang. Pemakaian seragam hitam putih
masih berlaku di beberapa fakultas. Hal itu tidak begitu jadi masalah karena
memang latar belakang Unnes yang merupakan perguruan tinggi kependidikan,
pakaian hitam putih pun dianggap wajar karena memang sebelum angkatanku masuk
sudah ada beberapa fakultas yang menerapkannya. Kemudian kebijakan memakai
batik, hal ini justru yang menurutku di dukung oleh para mahasiswa. Aku jadi
berfikir, ternyata teman-temanku sangat menghargai budaya bangsa berupa batik
ini. Batik yang merupakan sebuah karya seni yang sangat indah ini merupakan
warisan budaya yang memang perlu dilestarikan. Menjadi sebuah kebanggaan
tersendiri saat memakainya. Saat mengenakannya di tubuh serasa diri ini
mengatakan, “Aku bangga jadi anak Indonesia”. Kini pun semakin membanggakan,
karena kini batik telah diakui dunia sebagai warisan budaya dunia yang telah
dikukuhkan oleh UNESCO.
Kebijakan penyeragaman yang
sangat ditentang dan tidak disukai oleh banyak teman-temanku adalah pemakaian
seragam pramuka. Ini lah seragam yang membuatku serasa masih seperti anak SMA. Hingga
kadang saat aku di kampus memakainya, banyak kakak tingkat yang iseng
mengatakan, “Wah ada anak SMA disini”. Sebuah kalimat yang sebenarnya merupakan
kalimat candaan tapi itu juga bisa terasa nyesek tak enak di hati. Awal-awal
protes terhadap penyeragaman pramuka ini banyak yang menyerukan bahwa jika
memang mahasiswa harus memakai pramuka tentu dosennya juga harus memakai juga.
Awal kebijakan itu berjalan, dosen pun akhirnya banyak yang mekai pramuka pada
hari jum’at. Oh namun memang terlihat tidak pas rasanya melihat sang dosen memakai
seragam pramuka. Tentu para dosen lebih paham tentang perasaan mereka dalam memakai
seragam pramuka saat mengajar. Akhirnya kebijkan memakai seragam pramuka itu
pun dihilangkan, kini hanya menyisakan memakai seragam hitam putih dan seragam
batik. Semuanya kembali berjalan dengan baik, penyeragaman itu pun tidak
serratus persen dibatasi. Mahasiswa diberi kebebasan dalam mengkreasi dan
berekspresi dengan seragam hitam putih dan batiknya. Boleh memakai batik
berbagai warna, bentuk dan gayanya masing-masing. Hanya memang harus sesuai
dengan norma dan nilai kesopanan yang ada di kampus. Itu lah memang mahasiswa,
sebuah tingkatan yang sulit dibatasi dibalik idealisme mereka yang sedang dalam
masa tumbuh-tumbuhnya.
Konservasi Lingkungan, sebuah upaya yang dilakukan oleh Unnes
untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Mulai tahun 2010 itu kampusku
benar-benar giat-giatnya menanam pohon. Aku pun tak luput dari kebijakan Unnes
untuk menanam pohon. Setiap mahasiswa baru diwajibkan menanam tiga pohon,
bagiku itu tidak masalah. Hal itu sangat baik dan sangat bermanfaat bagi
lingkungan. Kebijakan yang satu ini tidak ramai diprotes seperti kebijakan
seragamisasi. Banyak mahasiswa justru sangat mendukung kebijakan ini.
Oksigen, salah satu sumber
kehidupan manusia. Sumber kehidupan untuk bernafas yang berasal dari hasil
fotosintesis tumbuhan. Pohon-pohon yang menghijau sangat jarang sekali ditemui
di kota-kota besar. Bukan pohon yang menjulang tinggi yang bisa ditemui, namun
gedung-gedung yang kokoh berdiri saling berlomba menunjukkan siapa yang paling
tinggi. Jalan-jalan terasa panas, udara yang berhembus pun terasa seperi
kibasan gelombang panas yang mendera tubuh. Panas seperti itu lah yang dahulu
aku rasakan di kota Semarang saat masa awal aku ke Semarang, namun hal itu
berbeda sekali di area kampusku. Hjaunya pohon-pohon nan rindang berjejer
meniupkan hawa sejuk di tubuhku yang bersanding di antara gedung-gedung kampus.
Segarnya oksigen dapat aku rasakan disini, semua itu juga karena kebijakan
kampusku tentang konservasi lingkungan.
Selain kebijakan penanaman
pohon, ada kebijakan baru pula yaitu setiap mahasiswa tidak diperbolehkan
mengendarai kendaraan bermotor di area kampus. Sama seperti kebijakan
seragamisasi, kebijakan ini pun banyak di protes mahasiswa. Kebijakan ini tidak hanya diperuntukan untuk
mahasiswa baru, namun berlaku bagi seluruh civitas akademika di Unnes. Banyak
mahasiswa-mahasiswa senior yang protes seperti dulu. Lagi-lagi aku sebagai
mahasiswa baru pun seperti hanya jadi penonton saja. Menonton para kakak
tingkat itu menyuarakan aspirasi mereka. Aku, tetapi tetap senang dan tenang.
Tak seperti yang sering aku lihat di televisi, saat mahasiswa menyuarakan
aspirasinya justru dengan kekerasan, demonstrasi secara brutal, membakar-bakar
ban bahkan sampai membakar gedung kampus mereka. Di Unnes tak pernah sekalipun
aku melihat hal seperti itu, semua di lakukan kakak-kakak tingkatku dengan
suasana relatif kondusif. Mungkin ini karena budaya di kampusku yang berlatar
kependidikan, hingga banyak mahasiswanya yang masih menjunjung tinggi
kenormatifan.
Protes terjadi begitu ramai, menyuarakan kenapa tidak boleh memakai
kendaraan bermotor. Aku berfikir sebagai mahasiswa baru, ya mungkin itu salah
satu untuk mengurangi polusi udara. Faktanya, namun bagiku ya tetap saja jika
tidak diperboleh di area kampus, tetap saja para mahasiswa akan tetap lalu
lalang dengan berbagai kendaraan motornya untuk beraktifitas di luar kampus. Aku
lihat sebagaian besar dari teman-temanku pun banyak yang membawa kendaraan
bermotor. Maklum rata-rata dari mereka adalah dari kalangan ekonomi menengah ke
atas.
Banyak mahasiswa yang terbiasa
mengunakan motornya untuk berkendara di area kampus, mereka lah yang banyak
mengeluh. Alternatif karena tidak diperbolehkan untuk memakai kendaraan motor
di area kampus, tentunya harus berjalan kaki antar satu gedung ke gedung yang
lain. Walau di kampusku berbarengan dengan diterapkannya kebijakan itu telah diluncurkan
pula faslitas baru di kampus yaitu peneyediaan beberapa bus yang beroperasi
mengitari kampus. Namun banyak dari mahasiswa itu tetap saja mengeluhkan hal
itu, tak mungkin harus selalu menunggu bus. Kuliah dan kegiatan lainnya bisa
saja telat jika bus tak bisa datang tepat waktu.
Kebijakan untuk tak memakai
kendaraan bermotor itu bagiku tak ada masalah, karena aku memang tidak
mempunyai motor. Untuk berangkat ke kampus hanya berjalan kaki, menyusuri gang-gang kecil dari kosku sekitar
setengah kilo meter jaraknya. Walau termasuk jarak yang cukup jauh, namun aku
tetap melakukannya dengan senang hati. Aku sadar aku bukanlah anak dari seorang
yang kaya, keluargaku adalah keluarga yang sederhana. Aku anak dari seorang
petani kecil. Berjalan kaki bukanlah masalah buatku, ini juga merupakan bagian
dari hidupku. Sering aku melihat teman-temanku yang membawa motor, sering kali
aku berandai-andai jika punya motor, mungkin aku tidaklah harus berkeringat
hingga sampai ke fakultasku saat selesai berjalan kaki. Hal seperti itu justru
membuatku gelisah, namun kala aku bisa menerima kondisiku justru aku merasa
bahagia. Salah satunya aku tidak begitu mempermasalahkan kebijakan mengenai
transportasi di kampusku itu. mungkin jika aku punya motor dan terbiasa naik
motor, mungkin aku pun akan mengeluhkan hal semacam itu.
Kebijakan pelarangan pemakaian
di area kampus itu pun akhirnya tetap berjalan, memang kebijakan yang baik
niscaya akan tetap berjalan walau diprotes banyak kalangan. Jika memang
masyarakat dan orang-orang yang berada di dalam kebijakan itu masih menghargai
suatu kebaikan dan kebenaran. Hati dan fikiran tentu tak bisa membohongi diri
sendiri untuk senantiasa menginginkan kebaikan. Semua orang ingin rasakan
kebaikan dan ingin pula berbuat baik, hanya saja sering kali situasi dan
kondisi yang memaksa mereka terkalahkan oleh nafsu mereka sendiri yang justru
melalaikan suatu kebaikan dan kebenaran.
UNTAIAN HIKMAH
Pertama, Saat kita bersedia
mendengar pendapat orang lain maka saat itu pula kita mendapatkan pengetahuan
baru dari sudut pandang yang berbeda. Sering kali di negeri ini kita saling
protes memprotes tentang suatu kebijakan. Padahal kita belum mengerti kenapa
kebijakan itu diterapkan. Kita acap kali sering menutup telinga kita demi
kepentingan diri kita sendiri. Harusnya kita mampu mendengar dan mau memahami
pendapat orang lain, jika kita memang menjalani hidup ini atas dasar kebaikan.
Kedua,
Saat kita mampu menerima kondisi
apapun yang telah digariskan oleh Tuhan, maka kita pun akan menjalani hidup
yang kita punya dengan rasa gembira. Sebaliknya saat kita selalu mengeluh
karena kita tak memiliki apa yang banyak dimiliki orang lain. Maka saat itu
kita akan terbebani dengan rasa iri di hati. Hal itu yang justru membuat kita
bersedih dan kurang bisa menikmati hidup yang kita punya.
Ketiga,
saat kita tak mengetahui banyak hal di
dunia ini maka kita akan menjadi penonton yang pendiam. Tak bisa berkomentar
hanya bisa melihat saja. Hal ini aku rasa terjadi di negara ini, rakyat yang
kurang berpendidikan selalu menjadi penonton yang diam membisu tak bisa berbuat
apa-apa. Hanya diam manggut-manggut dijejali segala peraturan dan kebijakan
yang silih berganti. Bahkan jika kita tak berpendidikan, kita bisa menjadi
bahan tontonan bagi orang-orang yang ingin menguasai negeri ini. Maka jangan
pernah menjadi orang yang apatis, orang-orang yang tak peduli dengan apa yang terjadi
di sekitar kita.
0 Response to "DILEMA KONSERVASI KAMPUSKU - Catatan Sang Bidikmisi ke-6"
Post a Comment