Sejenak di suatu malam aku terdiam sambil membaca kalimat-kalimat yang tertulis singkat di beberapa larik kertas.
“Pak agus itu orangnya santai,
baik, selalu punya cara untuk menghilangkan rasa bosan muridnya. Seperti
menampilkan video / motivasi agar kita tidak mudah putus asa dan lain-lain.
Maaf jika X AP 3 agak susah di atur dan berisik.”
Beberapa kalimat yang diakhiri
tanda tangan dengan nama Aprilia. Sebuah nama yang membuatku merasa ingin
kembali bertemu dengan sosok murid-muridku dari sebuah sekolah di Kota
Salatiga, SMK Negeri 1 Salatiga. Itulah salah satu yang kubaca malam itu, dari
salah satu muridku dahulu. Aku kembali membaca lembaran kertas demi kertas di
mejaku.
“Menurut saya Bapak itu sangat
perhatian kepada kami, sayang kepada kami, sabar mengajar kami, pokoknya baik
kepada kami. Hanya ucapan terima kasih yang kami sampaikan. Salam sayang murid
kepada guru.”
Kalimat-kalimat yang ditulis oleh
murid-muridku dahulu, kala PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) sebagai guru di SMK Negeri 1 Salatiga. Kalimat yang sering kali kubaca saat merindukan mereka. Lembar demi lembar hingga membuatku tersenyum dan terenyuh sendiri. Ingin sekali kembali bertemu mereka kembali. Hingga aku teringat akan masa-masa dimana aku mulai bertemu mereka di tahun 2010.
murid-muridku dahulu, kala PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) sebagai guru di SMK Negeri 1 Salatiga. Kalimat yang sering kali kubaca saat merindukan mereka. Lembar demi lembar hingga membuatku tersenyum dan terenyuh sendiri. Ingin sekali kembali bertemu mereka kembali. Hingga aku teringat akan masa-masa dimana aku mulai bertemu mereka di tahun 2010.
Tepatnya di bulan Agustus tahun
2013, menginjak waktuku kuliah pada semester tujuh. Aku pun mendapatkan mata
kuliah PPL. Hingga singkat cerita aku pun ditempatkan di sebuah kota yang belum
pernah aku singgahi. Kota yang mempunyai udara begitu dingin namun menyejukkan,
kota Salatiga. Aku ditempatkan bersama 26 orang mahasiswa dari kampusku.
Kelas X AP 3
Beberapa hari observasi, hingga
akhirnya pada suatu hari aku dan satu temanku bernama Khikmah diperkenankan
untuk masuk ke kelas untuk menjajaki kelas yang akan kami ajar. Sesuai dengan
jurusan yang aku tempuh di Unnes, Prodi Pendidikan Administrasi Perkantoran. Maka
aku pun langsung diarahkan ke kelas Admisnistrasi Perkantoran. Tepatnya di
kelas sepuluh, disini aku merasa beruntung juga, aku akan menghadapi
murid-murid yang baru lulus dari SMP dan setingkatnya. Karena dengar-dengar
dari banyak teman, jika di SMK itu bila menghadapi murid-murid dari kelas
sebelas atau dua belas bakal banyak cobaan. Maklum, karena semua murid di AP
kala itu adalah perempuan. Bisa saja, aku bakal salah tingkah jika menghadapi
kaum hawa yang baru beranjak remaja itu. Bisa jadi aku bakal grogi tak banyak
berkata kala berhadapan dengan sosok wanita-wanita yang lagi mekar-mekarnya itu.
Masuk di kelas X AP 1, aku lihat
siswanya dengan antusias. Tepatnya para siswi, bukan para siswa. Aku senang
mereka nampak masih lugu dan imut-imutnya. Namun kelas itu nampak sebagai kelas
dengan banyak siswi pintar yang hobi belajar. Jadi kelasnya serasa kondusif dan
tenang. Duh, aku jadi minder jika menghadapi kelas yang seperti ini. Sementara rekanku,
Khikmah justru ingin sekali mengajar di kelas itu. Beberapa jam berikutnya,
lanjut ke Kelas sebelahnya yaitu kelas X AP 2. Kelas yang kedua juga nampak
tenang, namun lebih bersuara daripada kelas yang pertama. Hingga akhirnya
masuklah aku di kelas X AP 3. Baru masuk saja, auranya sudah berbeda. Siswi-siswi
di kelas ini sudah terlihat kegaduhannya, tepatnya mereka begitu aktif merespon
kedatangan kami. Tidak seperti dua kelas sebelumnya, entah mengapa aku merasa
tertarik dengan kelas yang satu ini. Rasanya ingin sekali kelas ini yang bakal
aku ajar di masa praktik ini. Masa penjajakan pun selesai, aku dan Khikmah
beserta guru pamong pembimbing kami pun berdiskusi tentang pembagian kelas. Akhirnya
memang yang terjadi sesuai harapan, Khikmah dengan pasti memilih kelas X AP 1
dan aku pun dengan senang sekali mendapat jatah X AP 3. Sedangkan X AP 2 kami
bergantian mengajarnya.
Masa-Masa Mengajar
Memang ekspetasiku tak meleset, X
AP 3 ini akan klop denganku. Dari awal saat perkenalan, mereka begitu sigap
sekali bertanya-tanya tentang profilku. Awalnya hingga membuatku grogi, mereka
berani sekali ternyata. Tak seperti yang kubayangkan bahwa mereka masih
lugu-lugu sebagai kelas sepuluh yang baru lulus dari SMP. Namun itu yang
membuatku merasakan adanya kehidupan dalam kelas itu. Tidak hening dan penuh
dengan celoteh-celoteh pertanyaan, hingga celoteh yang tak nyambung sama
sekali.
“Cie-cie, cari perhatian. Cie
cie...”
Sering kali kalimat itu
terdengar, wajar saja karena aku adalah laki-laki satunya di kelas itu. Jika
ada salah satu murid yang bertanya lebih. Langsung saja mereka serentak
menyoraki yang bertanya. Membuat yang bertanya jadi memerah wajahnya, bahkan
ada yang tak jadi bertanya hingga senyum-senyum saja. Hal itu begitu teringat
di ingatanku, apalagi kala membaca salah satu kalimat yang diberikan padaku
oleh salah satu muridku.
“Kami harap bapak dan Rini bisa
bersatu dalam ikatan suci. Semoga sakinah mawadah warohmah”
Tulis seorang muridku yang sering
kali menghidupkan suasana kelas, dalam tulisannya dengan nama inisial Enha.
Namun ditulis juga namanya pula, Nurhayati. Hal yang bikin aku senyum sendiri,
dia begitu sempat-sempatnya menggambar tulisan JKT 48, diakhir tulisannya
disertai pula dengan kata “Hidup Cesar !!! AWWEKK”. Apapun yang dia tulis, aku
senang karena dia salah satu murid yang mampu menghidupkan keceriaan murid yang
lain. Namun ada pula tulisannya yang tak aku mengerti,
“Yang kami suka dari Pak Agus itu
Asyik, pelajaran mudah masuk otak. Pokoknya Cukok Maroko Codot”
Kalimat yang terakhir itu yang
sampai sekarang tak aku mengerti. Jangan-jangan dia sendiri yang mengerti, atau
sebenarnya anak-anak X AP 3 sudah familiar dengan kalimat “Cukok Maroko Codot”.
Entahlah bahasa planet mana itu.
Dari guyonan isi tulisan yang
diberikan kepadaku itu pun aku jadi ingat muridku yang bernama Rini,
tepatnya
Dwi Novita Rini. Sosok gadis cantik yang tinggi semampai, bahkan lebih tinggi
dari diriku. Muridku yang tiap mau menjawab, selalu memperkenalkan diri.
“Saya, Dwi Novita Rini. Bla bla
bla...”
Selanjutnya langsung disambut
teman-temannya sekelas dengan kalimat,
“Cie-cieee, Rini Cieee”.
Namun memang dialah murid
terpintar yang aku ajar di kelas itu. Kehadirannya pun dan tingkahnya yang
malu-malu karena disoraki bersama-sama itu pun membuat kelas menjadi tak sepi.
Dia pun sering menjadi bahan celotehan untuk membuatku malu. Jika aku
memperhatikan atau menyuruhnya maju atau menjawab, maka sering kali kata cieee
yang terdengar.
Rasanya jadi senang mengajar
mereka, mereka begitu aktif. Ntah itu aktif bertanya, atau sampai aktif
mengobrol sendiri. Itu yang membuatku senang, karena aku tak ingin kelas terasa
sepi. Sering kali aku pun mengajar mereka dengan metode Game. Metode itu sering aku terapkan, karena tak jarang aku harus
mengajar di akhir jam pelajaran. Masa-masa dimana murid-muridku sudah merasa
ngantuk, bahkan kadang juga sudah ada yang mulai menidurkan diri jika tak
dibangunkan. Membuatku ingin membuat pelajaran yang berbeda bagi mereka. Hingga
akhirnya, dengan sering kali memakai sebuah permainan dalam pembelajaran justru
kelasku itu menjadi ramai di kala akhir pelajaran. Hal itu tak jarang membuat
kelas disampingku terheran-heran, bahkan sang guru pamong pembimbingku juga.
Aku pun masih ingat, ketika di
awal pembelajaran sekitar lima menitan itu aku beri mereka kutipan-kutipan kata
motivasi ataupun mutiara. Dengan sedikit bercerita layaknya motivator amatiran,
mencoba membuat mereka bersemangat untuk belajar. Walaupun aku tak bisa bergaya
yang cool, karena muridku ada yang
bilang bahwa jas almamater yang aku pakai terlihat agak kebesaran. Namun
entahlah saat itu, aku merasa PD-PD saja. Bagiku yang penting mereka tak
terganggu dengan penampilanku. Aku pun sering membuat mereka ketawa, dengan guyonan-guyonan
aneh yang sebelumnya tak terfikirkan pula. Entah dengan bersama mereka, aku
merasa santai saja melepaskan candaan. Hingga rasanya suasana kelas tak pernah
sekalipun terasa menegangkan. Mereka pun memberitahuku bahwa suasana kelas
tidak terasa menakutkan, aku pun entah mengapa tak pernah merasa marah dengan
mereka.
Beberapa minggu berlalu, aku pun
menjadi sangat akrab dengan mereka. Tentu mereka masih ingat dengan nama Pak
Dadang, sebuah nama yang sering kali menjadi kambing hitam dari materi-materi
kearsipan yang aku berikan kepada mereka. Sebuah nama fiktif yang sering kali
menjadi tokoh dalam contoh-contoh materi-materi yang ada. Entahlah siapa itu
Pak Dadang, dialah sosok yang membuat kelas itu hidup dalam materi yang ada. Keakraban
yang terjalin membuatku kadang kala jadi tak tegas atau sulit membuat mereka
menurut seketika. Mereka sering kali menego pelajaran, mau istirahat dulu atau
pelajaran dulu. Pengen pulangnya cepat, ataupun permintaan aneh yang lain. Tat
kala demikian, aku pun berinisiatif memutarkan mereka video motivasi. Tak
jarang mereka pun akhirnya meneteskan air mata. Awalnya mereka yang kurang
semangat, menjadi begitu tergugah untuk kembli semangat belajar.
“Ah Pak Agus membuat kita nangis,
emmm tapi jadi semangat setelahnya.” Ucap salah satu murid sambil mengelap
tetesan air matanya.
Aku rasanya senang bisa membuat mereka menetesekan air mata. Karena setelahnya pasti mereka kembali bersemangat
kembali. Saat seperti itu rasanya aku jadi merasa seorang motivator, duh
padahal hanya membuat satu kelas saja yang menangis. Anehnya, mereka tak
kapok-kapoknya mau aku putarkan video motivasi.
Hari demi hari, aku pun sering
tak sabar untuk segera mengajar. Rasa kangen itu ternyata ada bagi para
murid-murid. Jika sudah tercipta sebuah ikatan, hal itu membuat kita ingin
sekali segera berjumpa. Satu hal lagi yang membuatku senang dan kadang juga
mampu menghiburku, ada satu murid yang wajah dan perawakannya mirip sekali
dengan salah seorang yang pernah membuat hatiku tertarik padanya. Seorang wanita
yang pernah membuatku kaget karena tak aku sangka tiba-tiba mencium tanganku
saat bersalaman pamitan. Ya, aku pernah menyukai seseorang. Ajaibnya, ternyata
muridku di X AP 3 ada yang mirip sekali dengannya. Tat kala tanpa sengaja aku memperhatikan
muridku itu, duh langsung teringat sosok yang jauh dariku saat itu juga. Namun aku
tentu tak berbuat lebih kepada muridku itu, dia hanya muridku. Bukan dia yang
disana, dia ya dia. Muridku yang satu ini pun mampu membuatku tersenyum
sendiri, tenyata Allah banyak menciptakan sosok yang relatif sama.
Beberapa bulan berlalu, akhirnya
masa PPL pun segera usai. Berat rasanya memang harus berpisah dengan
murid-muridku di X AP 3. Murid-muridku yang sering menjuluki kelas mereka
dengan slogan, X AP3 Always Enerzig And Gaspol. Entah slogan aneh apa lagi itu,
namun justru itulah yang buatku berat meninggalkannya. Namun apalah daya, ini
semua memang jalan cerita yang harus aku lewati. Aku pun harus kembali dalam
dunia perkuliahanku. Terakhir aku pun pamitan kepada mereka, mereka pun nampak
agak kecewa dan sedih pula. Walau ada pula yang cuek juga. Namun yang aku
terenyuhkan, ternyata ada pula yang mampu hingga berkaca-kaca bola matanya. Aku
ajak mereka tuk berfoto bersama, sekadar sebagai pengingat mereka sebagai salah
satu momen yang istimewa bagiku. Aku pun meminta mereka menuliskan komentar, saran
dan kesan tentangku. Aku minta mereka menuliskannya dalam sebuah kertas. Kalimat-kalimat
itulah yang aku baca pada malam ini.
“Mungkin selama kita diajar, kita
sering tidak mendengarkan. Saya beserta teman-teman AP 3 meminta maaf
sebesar-besarnya. Banyak motivasi dari bapak. Terima kasih Pak, untuk bekal
esok nanti. Selalu ingat AP 3, don’t forget me : )“ Tulis Lailatul Fitriya.
“Semoga Pak Agus gak lupa ya sama
X AP 3, yang selalu bikin Pak Agus kesel. AP 3 yang selalu PAK DADANG. AP 3
yang selalu Enerzig and Gaspol. Maafin kita ya Pak jika punya salah” Tulis Fera
Puspita Sari.
“Makasih banget atas semua usaha
bapak buat kesabarannya dan usahanya buat ngajar saya, semoga aja bapak bisa
jadi orang yang sukses nantinya. Amin” Tulis Ana Nur Janah.
“Thanks for All and Don’t forget me Pak !!!” Tulis Dwi Novita Rini.
Hingga tulisan yang begitu buatku ingin sekali terus mengajar mereka, tulis muridku bernama Agustina.
“Sebenarnya aku lebih suka kalau
yang ngajar itu adalah Pak AGUS...”.
Banyak lagi lembaran kertas yang
aku baca, dari harapan, saran maupun kritikan. Apapun yang mereka tulis, aku
tetap senang telah punya kesempatan untuk mengajar mereka. X AP 3, semoga kita
bisa bertemu kembali dalam suasana yang lebih baik dan menyenangkan. Semoga
kalian pun bisa menjadi orang-orang yang sukses dan bahagia hidupnya. Tercapai
keinginan dan cita-cita mulia kalian.
Pelajaran Berharga :
Pertama, saat kita mampu
menikmati apapun yang terjadi pada hidup kita. Maka hidup kita pun akan
merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Kebahagiaan yang benar-benar dirasakan
oleh hati. Entah mendapatkan imbalan atau tidak, entah mendapatkan banyak
pujian atau tidak. Namun itu mampu membuat kita menjadi lebih baik dan
pintar-pintar bersyukur.
Kedua, orang lain akan cenderung lebih menyukai terhadap diri kita.
Jika kita mampu memberikan yang istimewa bagi mereka. Memberikan suatu yang
tanpa dipaksa ataupun dengan cara yang tidak menyenangkan bagi mereka. Mungkin
kita bisa lepas dari semua kebiasaan rata-rata, lalu menciptakan suatu kreasi
yang baru yang mampu membuat orang lain merasa bahwa itulah istimewanya.
Ketiga, saat kita mau berbagi
motivasi dan inspirasi kepada orang lain. Maka saat itu juga, ternyata kita
juga merasakan kepuasan tersendiri. Di saat itu pula terasa bahwa kita telah
berguna bagi orang lain, walaupun itu sangat kecil sekali. Karena sebanarnya
bukan seberapa besar yang bisa kita berikan, namun seberasa besar kita mau
mengapresiasi apa pencapaian yang telah kita lakukan.
Keempat, sesuatu yang
menyenangkan membuat kita merasakan kerinduan. Maka tentu jika kita ingin
dirindukan oleh orang lain, kita harus menjadi sosok yang menyenangkan.
Seseorang yang hadirnya diharapkan ada, jika tak ada sunguh dinanti-nanti. Jika
kita bersamanya merasa ingin berlama-lama, dan tak ingin berpisah dengan
kebersamaan itu.
0 Response to "Ceritaku Bersama X AP 3, Pengalaman Mengajar di SMK Negeri 1 Salatiga - Catatan Sang Bidikmisi ke-28"
Post a Comment